Rabu, 02 Mei 2012

Pojok Iseng



Pojok Iseng
Belum Lama iNi
Terkadang orang mengira kita gila, terkadang orang mengira apa saja seenak mulut mereka. Tapi tetaplah berjalan sesuai dengan kata hatimu. Bukankah dunia ini tidak dibatasi oleh mulut-mulut mereka yang asal bicara ? hahahahaha...
Selam sejahtera buat sahabat-sahabat BLOG. Saya kembali lagi di dunia kecil ini untuk mencari batas yang sesungguhnya. Karena kata Darsi “Dunia kecil ini tak terbatas” tapi saya tak percaya.
Eh, siapa Darsi? Mau tau saja.

Rabu, 06 Januari 2010

MENYAMBUT CAHAYA



Seberapa kuat sebuah keyakinan akan mengendalikan hidupku? Mampukah aku melawan mereka yang sangat berlawanan dengan keyakinanku sendiri? Tuhan… Jangan tinggalkan aku sendirian di sudut pengembaraan mencari-Mu. Jangan abaikan hasratku untuk menemukan-Mu!
Denting sendok yang beradu dengan piring pada makan malam itu seperti lonceng kematianku. Semua mata yang melihatku seperti hendak menikam. Ruang makan terasa sunyi. Obrolan di meja makan tidak terdengar. Tak banyak yang bisa kulakukan selain bercumbu dengan sendok dan garpu sekedar menghilangkan kegaduhan hati.
Makan malam sepi seperti itu sudah hampir setiap malam menyelimuti keluarga besarku. Hanya karena sebulan sebelumnya aku berdebat dengan kakakku soal keyakinan yang sudah turun temurun di anut oleh keluargaku. Kakak dan Ibu menggangap pendapatku bersebrangan dengan keyakinan keluarga selama ini. Hanya ayahlah yang memberikan kebebasan berpendapat tentang apa saja yang menjadi kegelisahanku.
“Hana, beberapa minggu ini saya lihat kamu lebih banyak diam. Ada apa?” Ayah memecah kebisuan di meja makan saat makam malam usai dan semuanya masih enggan meninggalkan meja makan.
“Tidak apa apa-apa, Yah” jawabku datar mencoba menutupi semua kegelisahanku.
“kau anakku, bicaralah pada ayah. Apa yang membuatmu gelisah?” ayah mendesak.
Ibu dan kakak meninggalkan aku dan ayah berdua saja di meja makan tanpa sedikit pun bersuara. Saat mereka sudah tidak terlihat. Aku mulai bicara pada ayah dengan keraguan yang semakin menyayat.
“ehmmm….Aku hanya mulai ragu dengan keyakinanku sendiri. Keyakinan tentang Tuhan yang selama ini mengisi kekosongan hatiku. Yang ternyata justru semakin kosong. Aku merasa bukan Dia, Tuhan yang seharusnya kusembah ”. Aku tahu jawabanku itu sangat tidak pantas di ucapkan di depan ayah.
“Apa maksudmu?” Suara ayah tinggi terperangah mendengar jawabanku. Seperti belum percaya dengan yang barus saja dia dengar. Aku diam saja. Melihat ayah seperti sedang di puncak kemarahan.
“Sebaiknya kita bicarakan ini di luar” suara ayah mulai terdengar pelan.
Ayah berdiri dari kursinya dan melangkah keluar rumah. Aku berdiri dan mengukuti di belakangnya menuju beranda rumah. Pembicaraan malam itu berlangsung hangat. Ayah tidak memaksakan keyakinannya. Aku diberi kebebasan untuk menetukan jalanku sendiri.
Suatu hari ayah pergi ke luar kota untuk waktu yang lama. Sejak kepergian ayah aku semakin terasing dari rumahku sendiri. Ibu dan kakak sudah tidak mau berbicara lagi denganku. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa berdamai dengan suasana rumah yang terasa sempit semakin ini. Aku sudah tidak tahan dengan keadaan ini. Keluargaku sepertinya sudah tidak menginginkan keberadaanku.
Di suatu pagi keiinginanku untuk segera meninggalkan rumah semakin kuat. Tanpa berpikir panjang. Aku pun meninggalkan rumah waktu itu juga. Meninggalkan secarik kertas  dalam buku di meja kerja ayah. Menyembunyikannya dari Ibu dan kakak agar hanya ayah yang membaca surat itu.

Dear Ayah,
Ayah, Hana pergi mencari keyakinanku. Tidak ada yang perlu Ayah khawatirkan. Aku akan mencari dan menentukan jalan hidupku sendiri. Sampaikan salamku pada ibu dan saudara-saudaraku karena aku tidak berdaya dengan tatapan mereka. Aku akan pulang saat aku menemukan yang kucari.
Salam hormatku,
Hana

Sebelum meninggalkan rumah di pagi yang masih gelap. Aku ke kamar ibu, melihatnya masih tertidur pulas. Aku merasa dia tahu kehadiranku dan aku merasakan sungguh kasihnya begitu berat melepasku. Setelah keluar dari rumah Aku berdiri di halaman rumah. setiap pojoknya serasa menahanku. Seperti tidak rela kutinggalkan. Ayah seperti memanggil-manggil dari pintu rumah dan Ibu menagisi kepergianku.
 Sebuah kereta pagi mengantarku pada tujuan pertamaku. Menemui seorang sahabat di kota lama. Dia berbeda keyakinan denganku, tapi dia sangat baik dan santun. Dia  mengenal banyak orang bijak yang bisa dijadikan pembimbing dalam pencariaku.
Sahabatku mengantarkan aku pada seorang bijak yang di kenal sebagai penafsir kebahagiaan. Seorang bijak yang selalu menebar cinta dan menghikmati hidup.  Seoarang yang santun dan ikhlas berbagi dengan siapa saja. Tanpa membedakan agama, keyakinan, dan latar belakang apapun dia terima di rumahnya. Seoarang bijak yang selalu memberi petunjuk  mengobati segala macam penyakit jiwa. Ketulusan dan keikhlasan hatinya, serta tutur bicaranya yang santun menyambutku saat pertama kali menemuinya.
Setelah beberapa kali menemui penafsir kebahagiaan itu. Berbagi denganya tentang segala hal yang kugelisahkan selama ini. Aku semakin memantapkan diri dengan jalan yang akan aku pilih. Semua yang di katakan orang bijak itu sangat masuk akal dan benar. Berbeda sekali dengan yang selama ini menjadi keyakinan keluargaku.
Di depan orang bijak yang telah menjadi guruku itu. Aku mengutarakan niat tulusku untuk meyakini kebenaran. Aku mengucapkan dua kalimat syahadat. Meyakini ke-esaan Tuhan dan nabi Muhammad rasul-Nya. Sang guru dan sahabatku mendengarnya dengan haru sampai meneteskan air mata.
Guru yang membimbingku ke jalan kebahagian yang kini telah kujalani berpesan agar aku terus belajar ilmu agama. Dia menganjurkan untuk belajar pesantren Kiai Zaini, namanya pondok pesantren putra dan putri al-Ikhlas. Di sebuah desa yang tak jauh dari rumahnya. 
Saat pertama datang ke pesantren, aku masih belum menggunakan jilbab. Seperti sahabat yang menemaniku dan wanita muslimah lain. Aku datang ke pesantren bersama sahabatku yang dengan ikhlas merelakan waktunya bersamaku selama ini.
Pengasuh pesantren itu sudah cukup tua. Usianya sudah sekitar tujuh puluh tahun. Tetapi wajahnya masih segar. Tak tampak kulit tua yang bergaris di wajahnya. Tubuhnya pus masih sangat tegar. Tutur bahasanya santun.
Setelah menceritakan tentang perjalananku sampai pertemuan dengan guru yang membimbingku, hingga kutemukan kebahagiaanku sekarang. Aku mengutarakan keinginanku untuk belajar ilmu agama di pesantrennya. Kiai Zaini sangat senang ketika aku memutuskan untuk belajar agama di pesantrennya.
Tidak seperti santri-santri putri lainnya yang tinggal di sebuah asrama yang yang yang berukuran lebih kecil dari kamarku yang dulu, aku disuruh untuk tinggal di rumah kiai Zaini. Sebuah kamar yang cukup besar. Sebuah kamar yang terletak di pojok kiri ruangan rumah kiai Zaini. Ada sebuah foto perempuan yang seumuranku tergantung di dinding kamar. Beberapa kitab yang berjejer di rak. Ada perasaan tidak enak yang bergelayut dihatiku. Karena aku diperlakukan secara istimewa oleh keluarga kiai Zaini. Terutama Nyai Romlah, istri kiai Zaini. Ia begitu menyanyangiku. Seolah-olah aku ini bagian dari keluarganya.
“Semenjak aku melihatmu pertama kali. Aku langsung teringat dengan anak perempuanku, Zahrah. Entah kenapa, aku seperti melihat sosok Zahrah pada dirimu” Kata nyai Romlah. Kulihat raut wajahnya yang selalu ceria itu berubah menjadi sedih. Ada kesedihan mendalam yang kutangkap pada wajahnya. Kesedihan yang tak ingin ia bagi pada siapapun.
“Memangnya apa yang terjai dengan Zahrah, Nyai?” Kataku membeeranikan diri.
Lama Nyai Romlah terdiam. Sebelum kemudian ia bercerita kepadaku tentang musibah yang menimpa Zahrah. Sebuah kecelakaan mobil telah merenggut anak perempuan kesayangannya itu setahun yang lalu. Barulah kemudian aku tahu kalau foto yang tergantung didinding itu adalah foto Zahrah. Dan kamar yang kutempati itu adalah kamar Zahrah.
Aku merasa bahagia. Karena aku menemukan sebuah keluarga yang sangat menyanyangiku. Tapi terkadang ada kesepian yang begitu dalam. Rasa rindu yang tak tertahankan. Seringkali aku teringat dengan ayah, ibu, dan kakakku. Bagaimana kabarnya mereka sekarang? Apakah mereka baik-baik saja? Ingin rasanya, aku pulang untuk sementara waktu. Menjenguk ayah, ibu, dan kakakku untuk memastikan kalau mereka baik-baik saja. Dan aku ingin berbagi kebahagiaan dengan ayah. Kareana aku menemukan sebuah keluarga yang sangat baik terhadapku. Sehingga ayah tak perlu menghawatirkan keadaanku. Tapi, aku tak mungkin pulang sebelum pencarianku selesai. Aku harus banyak belajar agama yang telah kuyakini.
Waktu terasa cepat berganti. Banyak hal yang berganti dan berubah. Tapi perhatian kiai Zaini dan Romlah tak pernah berubah kepadaku. Seringkali aku juga diajak oleh Nyai Romlah untuk menemani Nyai Romlah berceramah agama di pesantren-pesantran. Kepada orang-orang yang menanyakan tentang diriku. Nyai Romlah akan mengatakan kalau aku adalah anaknya.
Semakin lama keyakinanku tentang Islam semakin kokoh. Nyai Romlah dengan penuh perhatian terus mengajariku tentang ajaran Islam. Sesekali waktu, sehabis sholat shubuh. Nyai Romlah akan bercerita kepadaku tentang keutamaan-keutamaan nabi Muhammad. Kesetiaan-kesetiaan para sahabat nabi untuk membela agama Islam.
***

Suatu pagi, ketika Aku sedang duduk di Beranda. Membaca kitab Nashahiul Ibad: Nasehat Bagi Para Hamba-Hamba Allah, tahu-tahu Ramdhan duduk tak jauh di depanku.
“Kamu rajin sekali Hana” Kata Ramdhan mengagetkanku.
Aku tergeragap. Hampir saja kitab Nashahiul Ibad itu jatuh dari tanganku. Entah kenapa setiapkali aku berada di dekat Ramdhan hatiku berdetak kencang. Detak yang tak sepenuhnya kupahami. Apalagi ketika Ramdhan menatapku dengan tatapan yang begitu tajam. Tatapan yang seakan-seakan ingin menyelam ke dalam jiwaku. Di hadapannya aku seperti seekor rusa dihadapan seekor singa. Apakah aku mencintanyainya?
Barangkali denyar-denyar cinta itu mulai tumbuh di hatiku. Perempuan mana yang tak akan jatuh cinta dengan Ramdhan, putra kiai Zaini yang terkenal sangat alim itu. Putra kiai satu-satunya yang akan menggantikan kiai Zaini kelak. Disamping pengetahuan agamanya yang sangat luas, Ramdhan memiliki wajah yang sangat tampan. Perawakannya yang tinggi semampai. Wajahnya yang putih bersih, mata jernih dan tajam. Perempuan mana yang tak akan terpesona dengannya. Semua para santri putri selalu membicarakan putra kiai Zaini itu diam-diam. Barangkali aku juga seringkali memikirkannya.
“Melamun saja, Han? Apa yang kau pikirkan? Rindu keluarga ya? Kalau Hana ingin menjenguk keluarga, aku bersedia kok mengantar Hana. Itu kalau Hana tidak keberatan” Kata Ramdhan.
Hatiku semakin berdebar tak menentu. Aku mencoba menerka-nerka perasaan Ramdhan. Apakah ia mencintaiku? Ah, tidak mungkin, ia mencintaiku. Bagaimana mungkin ia mencintaiku?
“Oh, gak kok mas. Aku gak sedang memikirkan sesuatu. Aku hanya teringat dengan keluargaku” Kataku berbohong.
“Kalau Hana memang rindu pulang. Nanti aku bisa antar. Atau kalau gak mau kuantar. Biar Pak Halim saja yang menmdgantar” Kata Ramdhan. Pak halim adalah sopir kiai Zaini.
“Gak usah mas. Terimakasih. AKU belum ingin pulang ke rumah mas”
“Ya, sudah. Kalau begitu. Kalau ada apa-apa. Hana gak perlu sungkan-sungkan untuk meminta bantuanku. Aku pasti akan Bantu kok” Kata Ramdhan “” Teruskan bacanya. Maaf aku sudah ganggu Hana” Lanjut Ramdhan sambil berdiri.
“gak kok mas. Mas ramdhan gak ganggu. Aku malah senang ada teman ngobrol” Kataku.
“Aku mau ke perpustakaan saja” Kemudian berjalan menjauh dariku.
Aku mencoba menimbang-menimbang apakah perhatian mas Ramdahan selama ini adalah bukti kalau ia mencintaku. Ah, tidak mungkin mas Ramdhan mencintaiku. Apalagi aku mendengar kalau mas Ramdhan sudah bertunangan dengan Aisyah, putri kiai Manaf, pengasuh pesantren Baiturrahman.
***

Bulan jatuh di atas langit-langit pesantren Al-Ikhlas. Beberapa santri putri sedang menendangkan sholawat burdahnya Imam Busiri. Ada juga beberapa santri putri yang sedang belajar membaca kitab. Diruang tamu, tampak kiai zaini yang sedang membaca beberapa kita-kitab Hadist, seperti biasanya.
Malam semakin larut. Para santri putri yang semula mendendangkan sholawat burdah itu tak terdengar lagi.
“Belum tidur Han?” Kata Ramdhan yang tiba-tiba berada di sampingku.
“Belum mas. Belum ngantuk” Kataku, dengan pikiran sedikit kacau dengan kedatangan Ramdhan yang tiba-tiba.
“Mas juga belum tidur” lanjut Hana.
“Sama belum ngantuk” jawab Ramdhan sambil duduk tak jauh di depanku.
Di beranda hanya Hana dan Ramdhan. Duduk berhadapan. Tapi tak ada suaru pembicaraan apa pun di beranda itu.  
Lama kami saling terdiam. Bulan purnama di atas sana itu seperti menyihir kami berdua. Sehingga kami kehabisan kata-kata. Kami seperti menyelami perasaan kami masing-masing. Perasan yang tak mungkin kami jajaki kedalamannaya.
“Tahukah kamu Han, kalau selama ini aku diam-diam mencintaimu. Aku merasa kalau engkaulah perempuan yang kukagumi selamai ini. Perempuan yang selama ini aku cari” Kata Ramdhan. Ramdhan memecah kebisuan itu dengan perkataan yang tak bias di sangka oleh Hana.
Aku tergeragap. Perasaan haru bercampur bahagia. Karena selama ini Ramdhan mencintaiku.
“Tidak mungkin mas Ramdhan mencintaiku. Mas Ramdhan pasti berbohong” Kataku berusaha menyembunyikan perasaan bahagiaku.
“Sungguh aku mencintai, Han” Kata Ramdhan
“Bukankah mas Ramdhan sudah bertunangan dengan Aisyah,putri kiai Manaf”
“Ya, tapi aku tak mencintainya. Aku lebih memilih Hana untuk menjadi pendamping hidupku”
“Apakah hana juga mencintaiku?”
Aku tak bisa menjawab. Yang bisa kulakukan hanya menggangguk.
“Kalau Hana mencintaiku. Aku bisa memutuskan pertunaganku dengan Aisyah. dan kita segera menikah, Han”
“Bagaimana dengn kiai Zaini, Nyai Romlah. Tentu ia tak akan setuju”
“Sebenarnya sejak dari awal Abah dan Umi menginnginkan Hana menjadi pendamping hidupku. Kata abah, engkau akan menjadi istri yang baik. Itu sebabnya, Abah memintaku untuk menanyakan perasaanmu kepadaku. Jika kamu mencintaiku dan mau menikah denganku. Maka pernikahan akan diadakan secepat mungkin”
Aku sangat bahagia. Ingin rasanya aku menangis. Tapi aku tahan, agar air mataku tidak jatuh.
Malam itu, kubenamkan diriku pada rakaat-rakaat tahajud. Aku bersyukur karena tuhan memberkatiku. Bertemu dengan orang-orang yang begitu baik kepadaku.
***
Tanggal perkawinan itu sudah ditentukan. Undangan-undangan juga pun sudah disebar. Aku ingin pulang kerumah meski sebentar. Melepas rasa rindu yang tak tertahankan. tiba-tiba aku jadi rindu pada ayah, ibu, dan kakakku. Aku ingin berbagi kebahagiaan dengan mereka.

Selasa, 08 Desember 2009

KOTA CAHAYA




 Hampir setiap hari Ostiens menghabiskan waktunya duduk di beranda lantai dua rumahnya. Selama berbulan-bulan dia hanya melihat ke arah timur. Tepatnya di sebuah daerah yang berada jauh di Timur yang entah.

Sebuah daerah yang memancarkan cahaya yang mengagumkan. Siang dan malam selalu ada yang cahaya yang memancar. Dia memandangi cahaya yang begitu lembut dan indah itu. Langitnya sangat cerah. Tak pernah ada mendung gelap. Hujan yang sangat lebat dan panas yang menyengat.

Semakin lama, cahaya itu mememenuhi hati dan perpikiranya. Dia mulai membuat kemungkinan-kemungkinan untuk menjangkau jauhnya cahaya itu. Mungkin cahaya itu berasal dari sebuah kota yang cukup megah dengan lampu-lampu yang  berkejaran dengan malam. Sinarnya membumbung ke langit menembus kabut malam. Bias cahanya membuat gulungan awan seperti cahaya merah menyala di angkasa.

Cahaya itu sekilas tampak seperti tidak datang dari bawah, tetapi datang dari atas. Mungkin ada bintang atau bulan yang hanya menyinari daerah itu setiap malam. Mungkin ada benda langit yang bisa menyimpan sinar matahari berada tepat di atasya dan tak penah berpindah.

Ketakjuban itu semakin kuat.  Kemudian dia menyebutnya sebagai Kota Cahaya. Dan dia pun memutuskun untuk mengetahui lebih dekat dan berada di kota itu. Ostiens tidak pernah pergi sejauh ini sebelumnya. Dengan bekal rasa takjub dan keingintahuan yang besar, dia meninggalkan keluarganya. Tidak ada yang tahu keberangkatanya. Dan tidak ada yang tahu kemana dia akan pergi. Dia berangkat saat semuanya sedang tertidur lelap. Membawa tas kecil berisi pakaian dan sejumlah uang untuk bekal diperjalanan. Dia berjalan menuju kota bercahaya itu. Dia pun tidak pernah bepikir berapa lama perjalanan yang akan ditempuh menuju Kota Cahaya itu.

***

Dia berjalan sudah cukup jauh dari rumahnya. Tidak pernah memalingkan wajahnya dari cahaya di arah Timur itu. Tak pernah ada kehawatiran atau ketakutan dengan yang akan ditemuinya. Tak pernah ada penyesalan dengan yang di tinggalkanya. Dia selalu berhenti di kota yang dilaluinya untuk memastikan Kota Cahaya tujuanya. Tetapi bukan kota itu yang dia cari. Kota Cahaya itu masih terlihat jauh di Timur.

Dia tida pernah bertanya tentang Kota Cahaya itu pada orang-orang yang ditemuninya di tempat-tempat yang dia singgahi. Saat dia sampai di sebuah desa sepi yang jauh dari kota. Dia mulai lelah dan hendak beristirahat.

Kemudia dari kejauhan dia melihat seseorang yang sedang duduk beristirahat di bawah sebuah pohon. “ Dari warna kulitnya, pakaian yang dikenakan, tas yang di letakkan  sampingnya dan wajah lelah karena mungkin dalam perjalanan jauh. Dia pasti pengembara dari barat yang kelelahan. Tetapi kemana dia hendak pergi. Apakah dia juga menuju ke Timur, ke Kota Cahaya itu atau dia datang dari Kota Cahaya di Timur dan hendak pulang ke barat?” Dia menghampiri pengembara itu dengan  penasaran.

“apakah Anda pengembara dari Barat?” Tanya pengembara itu, sebelum Ostiens menanyakanlebih dulu. Saat itu Ostiens sedang membersihkan batu untuk tempat duduk di bawah pohon tak jauh dari pengembara itu duduk.

“Ya, saya dari Barat. Dari  desa Tulip ” Ostiens menjawab singkat. Menarik nafas panjang sambil metakkan tas di sampingnya.

“ Kemana tujuan Anda, hingga berjalan sejauh ini?” Pertanyaan Pengembara itu membuat Ostiens diam tercengang. Dia tidak tahu tempat tujuanya, dia hanya ingin pergi ke Kota Cahaya yang entah di mana letaknya. Dia mulai memberanikan diri menayakan tentang Kota Cahaya pada pengembara itu.

“Saya selalu melihat cahaya yang menyala di langit daerah Timur. Dan langit yang sangat cerah di siang hari.  Mungkin sebuah kota megah dan selalau bercahaya. Saya menuju Kota Cahaya  itu” Ostiens menjawab yakin dengan tujuanya.

“Ha… ha… ha…! Kota Cahaya apa yang  Anda cari. Tidak ada kota bercahaya di Timur.” Lanjutnya “Saya sudah dari Timur, tidak pernah ada yang membicarakan kota itu. Di timur Anda hanya akan menemukan kota yang kering gersang dan sepi.” Pengembara itu tertawa  mendengar jawaban Ostiens.

“Lihatlah ke Timur. Pernahkah Anda melihat cahaya selembut itu dan langit secerah itu sebelumnya?” Ostiens sambil menoleh dan menatap ke arah ke arah Timur.  Seperti memberi isyarat pada Pengembara untuk melihat ke arah yang dia lihat. Ostiens melihat wajah Pegembara itu. Dari sorot mata dan wajahnya. Pegembara itu takjub dan heran melihat ke arah yang sudah dia lalui. Sebuah cahaya yang sangat lembut terpancar. Langit yang sangat cerah. Dia diam saja dan seperti meyesali tawa dan yang baru saja dia katakana pada Ostiens.

Hari sudah mulai remang. Matahari perlahan tenggelam di langit barat. Cahaya itu semakin jelas terlihat. Pengembara itu, melihat takjub pada cahaya yang baru saja dilihatnya. Tidak sedikit pun bersuara. Semakin gelap, Kota Cahaya semakin terlihat lebih dekat. Pengembara itu masih duduk termenung melihat keindahan semburat cahaya yang anggun di Timur.

“Malam ini saya akan bermalam di sini. Apakah Anda ingin melajutkan perjalanan ke Barat?” Tanya Ostiens pada pengembara yang sedang duduk terpaku melihat ke angkasa di ufuk timur. Tak ada jawaban. Pengembara itu masih belum melihat ketakjub cahaya itu. Ostiens memegang punggung pengembara itu dan mengulangi pertanyaanya lagi.

“Malam ini saya akan bermalam di bawah pohon ini. Anda ingin melajutkan perjalanan ke Barat?” Ostiens melanjutkan. Dari sini kota Cahaya terlihat sangat jelas dan semakin dekat.

“Ya, saya juga mau bermalam di sini. Melihat cahaya anggun itu” Jawab Pengembara  kaget. Tanpa menoleh pada Ostiens. Seperti tidak ingin memelingkan wajahnya dari cahaya yang dilihat.

Ostiens tersenyum sambil menggelar kain alas tidur di rumput bawah pohon itu dan meletakkan tas yang berisi pakaian ganti di pangkal pohon untuk bantal.

Sampai larut malam, Ostiens dan Pengembara  masih duduk mengahadap ke Timur membicarakan cahaya itu dan menceritakan pengalamanya selama diperjalan. Ostiens menceritakan kehidupan mewahnya. Kebiasaanya duduk di beranda rumahnya dan awal ketakjubanya pada cahaya indah itu. Saat Ostiens bercerita, Pengemabara mendengarkan dengan penuh semangat dan haru.

Dengan tatapan yang takjub ke arah Timur. Pengembara menceritakan awal keberangkatanya dan pengelamannya selama berada di Timur yang belum pernah dia temui selama hidup di barat.

“Saya suka berpetualang. Saya pergi ke timur sudah sangat lama. Sejak usiaku waktu itu masih dua puluh tahun. Tidak terasa sekarang usiaku sudah tiga puluh tahun.’ Pengembara menghela nafas panjang. Dia melanjutkan ceritanya “Awalnya saya mengira Timur sangat tidah menarik untuk di kunjungi. Dari beberapa orang yang saya bercerita tentang timur, hampir tidak ada yang menyanjung Timur. Mereka selalu menceritakan Timur daerah yang gersang. Tak ada sumber mata air. Timur seperti hamparan padang pasir yang tidak ada kehidupan. Katanya orang-orang yang sudah pergi ke timur sangat jarang kembali ke barat.


Dari cerita-cerita yang menciutkan nyali itu. Saya justru merasa tertantang pergi ke Timur. Ahirnya, saya memutuskan pergi ke Timur. Tidak ada yang harus kusesali dalam perjalananku. Saya tidak punya keluarga. Tidak punya apa-apa. Saya hanya kuli angkut di pasar. Menerima sedekah dari dermawan yang membantu. Saya tidak membawa bekal apa-apa. Hanya membawa pakaian yang melekat di badan.


Setelah sampai di Timur, ternyata apa yang saya dengar dari orang-orang itu sama sekali tidak benar. Entahlah. Seperti ada membuatku bertahan di Timur. Saya menemukan ketenangan batin yang tak pernah saya rasakan selama hidup di Barat.”

“Mengapa Anda tadi mengatakan Timur hanyalah daerah yang kering gersang dan sepi?’ Ostiens memotong certita Pengembara.
Pengemabra menoleh pada Ostiens “Saya hanya ingin menguji Anda?” Jawabnya dengan santai sambil tersenyum. “ Saya juga mendengar jawaban anda tentang Kota Cahaya. Saya kaget dan seperti cerita lucu. ” Pengembara melanjutkan.

Ostiens tidak berkomentar apa-apa. Dia hanya diam. Memandang wajah pengembara yang sudah mulai mengantuk.
“Sekarang kita tidur saja. Besok kita melanjutkan perjalanan. Perjalanan saya masih cukup jauh.” Ostiens merebahkan badannya dan berbantal tas yang berisi pakaian.

“Saya masih mau melihat cahaya itu. Mungkin besok saya sudah tidak punya kesempatan melihatnya lagi. Dalam perjalanan saya ke Barat, mungkin sangat jarang sekali menoleh ke Timur.  Silahkan Anda tidur lebih dulu.” Jawab Pengemabara yang menahan kantuknya meliha ke langit  Timur untuk memandangi cahaya yang mempesona.

***

Sinar matahari pagi membelai lembut wajah Ostiens yang masih tertidur. Kemudian dia erbangun dan langsung menghadap ke arah Timur. Memastikan Kota Cahaya masih ada. Meyakinkan diri dengan harapan yang baru menuju Kota Cahaya.
Pengemabara sudah terbangun lebih dahulu. Ostiens melihatnya dengan heran. Pengembara berdiri tenang di tanah lapang tak jauh dari pohon, menghadap ke Timur.

“Apa yang kau lakukan di sana?” Ostiens bertanya pada Pengembara. Pengembara sedikti tersentak denga pertanyaan Ostiens.
“Melihat cahaya itu. Saya mencoba melihat letak sebenarnya Kota Cahaya itu. Sepanjang perjalanan ke Barat. Kota-kota yang saya lalui tidak ada yang bercahaya seperti itu. Daerah yang sangat cerah seperti yang saya lihat sekarang” Pengembara menjawab dengan wajah  seperti merenung dan sedikit menyesal.

“Sekarang, tahukah anda letak Kota Cahaya itu?” Tanya Ostiens bersemngat, berharap Pengembara sudah mengetahui letaknya.
“Saya belum bisa memastikan. Tetapi perkiraan saya, Kota Cahaya itu dekat dari sini. Mungkin lima hari perjalanan lagi” Jawab Pengembara sambil melihat wajah bahagia Ostiens yang sudah berdiri di sampingnya.

“Saya sebenaranya ingin sekali kembali ke Timur  bersama Anda. Kita berangkat bersama menuju Kota cahaya itu. Tapi nanti saja saya pikirkan lagi” Pengembara mengutarakan keinginannya sambil memegang pundak Ostiens.

“Saya mau melanjutkan perjalanan ke Timur. Jika Anda memang ingin melajutkan perjalanan ke Barat. Semoga kita masih di beri kesempatan untuk bertemu lagi. Terima kasih perkenalannya. Saya akan mengingat perjumpaan ini. Selamat tingal ” Ostiens berpamitan pada Pengembara yang abru semalam mengenalnya.

“Ya, semoga perjalananmu menyenangkan. Mungkin cukup kusimpan saja cahaya itu dalam hati. Kelak jika kita bertemu lagi. Saya ingin mendengar cerita Anda tentang Kota Cahaya yang telah Anda kunjungi itu” Keduanya berpelukan perpisahan.

Ostiens berjalan menuju matahari yang baru saja terbit. Meninggalkan  Pengembara yang masih berdiri kaku melihat cahaya di langit cerah itu.

***

Setelah tiga hari perjalanan. Di sebuah desa yang sunyi. Desa yang sangat sederhana. Bangunannya tidak ada satu pun yang terlihat cukup mewah. Semuanya hamper sama. Beberapa orang yang kebetulan berpapasan denganya selalu menyunging senyum ramah.

Kemudian Ostien melepas lelah duduk di bawah sebuah pohon yang teduh. Sambil mengeluarkan roti yang baru saja dia beli di kota. Dia melihat ada seorang laki-laki tua yang sedang menuju ke arahnya.

“Saya minta rotinya sedikit, nak !” laki-laki tua itu meminta sebagian roti yang sedang Ostiens makan. Dia langsung memberikan roti yang ada di dalam tasnya.

“Terima kasih, nak ” laki-laki tua itu langsung memakan roti itu di depan Ostiens.

Ostiens melihat dengan iba wajah laki-laki tua yang sedang memakan roti seperti tidak peduli dengan sekitarnya dan Ostiens yang sedang memandangnya. Tubuh laki-laki tua itu sudah sangat renta. Kurus sekali. Baju yang dikenakan sudah banyak sobekan, nyaris tidak layak pakai.

Tetapi ada yang membuat Ostiens terperangah kaget melihat laki-laki tua itu. Wajahnya  terlihat bersih, seperti ada pancaran sinar dari hati yang suci. Sorot matanya menyiratkan keteduhan dan ketenangan. Pakainya meskipun sudah banyak sobekan sangat bersih. Kulitnya juga bersih. Seperti tida ada debu yang menempel di kulit dan pakainya.

Laki-laki tua itu tidak menghabiskan roti yang dimakanya. Laki-laki tua menyimpanya sisanya di dalam kain lusuh seperti sebuah tas yang disandangnya. Kemudia pergi meninggalkan Ostiens yang sedang duduk heran melihatnya.



Ostiens mengikuti laki-laki tua itu. Terik matahari yang menyengat tidak dia hiraukan. Di tikungan jalan desa yang sepi, Laki-laki tua itu tidak terlihat lagi. Ostiens segera menuju tikungan itu. Laki-laki tua itu tidak ada. Menghilang entah ke mana. Mungkinkah dia sembunyi? Tetapi di tepi sepanjang jalan tidak terlihat ada pohon yang bisa dijadikan tempat bersembunyi. Hanya ada rumah tua yang sudah rusak tak berpenghuni. Tidak mungkin dai sembunyi di rumah itu. Jaraknya dari tikungan agak jauh.

Mendadak suasana menjadi sunyi. Ostien segera berbalik badan dan meninggalkan tikungan itu. Pikirannya masih dipenuhi sosok laki-laki tua yang tiba-tiba menghilang di tikungan jalan desa. Ke manakah laki-laki tua itu? Pikiranyakacau kemarau dengan menghilangnya laki-laki tua itu.

Satu-satunya yang memembebaskan pikiran Ostiens tentang laki-laki tua itu adalah Kota Cahaya di arah timur yang menghilang. Dia kaget ketika melihat ke arah timur, Kota Cahaya yang selama ini menjadi tujuan ahirnya dalam perjalanan ke timur tiba-tiba menghilang begitu saja.

Tubuh Ostiens tiba-tiba lemah. Dia duduk bersimpuh di jalan desa sunyi. Perjalanan bahagia selama berbulan-bulan lamanya demi mengejar impian mengunjungi Kota Cahaya berubah mejadi tangis kesedihan.

Tiba-tiba ada suara yang tidak asing lamat terdengar dari belakang Ostiens. Tetapi tidak dia hiraukan.
“apa yang kaulakukan anak muda?” Suara laki-laki tua yang baru saja dia ikuti dan menghilang.

 Air matanya menetes hingga membasahi tanah. Membuat genangan air mata kecil di tanah. Ostiens menoleh ragu ke arah suara di belakangnya sambil berusaha menutupi kesedihannya.

Di terkejut melihat laki-laki tua itu berdiri di belakangnya dengan seorang gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun berpakaian serba hitam yang kumal di sampingnya.

Ostiens berusaha berdiri. Tetapi dia sangat lemah seperti kehilangan seluruh tenaganya. Laki-laki tua dan gadis kecil itu membantu Ostiens berdiri. Laki-laki tua itu memegang pundak dan tangan kananya. Gadis kecil itu memegang tangan kirinya. Dibawa ke rumah tua berjalan dengan tertatih-tatih.

“Biarkan dia tidur di sini dulu” kata laki-laki tua pada gadis kecil itu. Dengan segara gadis itu membersaihkan sebuah papan besar untuk dijadikan tampat tidur Ostiens yang sudah sangat lemah. Dengan hati-hati Ostiens direbahkan. Laki-laki tua itu mengambil kain sarung lusuh untuk selimut Ostiens.

“apakah dia akan baik-baik saja?” Tanya gadis kecil itu pada laki-laki tua.

“dia akan baik saja. Mungkin dia hanya kelelahan” Kata laki-laki tua “ ambilkan air minum”. Lanjutnya. Gadis kecil itu segera pergi mencari air di rumah tua yang kosong itu.

“Minum air ini ” laki-laki tua itu sambil mengangkat kepala Ostiens dan menaruh mangkok berisi air minum.

Saat sudah mulai bisa duduk, Ostiens diam saja. Tak ada suara keluar dari mulutnya, walaupun sebuah desahan. Tatapan matanya selalu kosong. Entah apa yang sedag ada dipikiranya. Kota cahaya yang hilangkah, kekecewaan atau penyesalankah? Tak ada yang bias menebak dari tatapan kosongnya.

Laki-laki tua dan gadis kecil itu duduk berhadapan dengan Ostiens. Mencoba memahami yang ada di hadapanya. Tetapi tatapan Ostiens kosong, sperti tak melihat kedua orang itu di hadapanya.

Hari sudah sudah senja dan gelap mulai merangkak perlahan. Laki-laki tua dan gadis kecil itu keluar meninggalkan Ostiens sendiri  di rumah tua. Tak lama kemudian mereka datang gadis kecil itu membawa sepotong roti.

“makan roti ini” kata gadis kecil itu sambil menjukurkan roti pada Ostiens. Tapi dia masih diam saja seperti tidak melihat ap-apa. Tidak melihat siap-siapa. Kemudian roti itu ditaruh di pangkuan Ostiens.

“Ayo, makan rotinya” lanjut gadis kecil itu sedikit memaksa. Ostiens masih saja diam seperti patung.

Malam sudah sangat gelap. Tidak ada lampu di rumah tua itu. Gadis kecil membuat api dengan tumpukan kayu di tengah-tengan mereka. Sekedar menjadi penerang dan penghangat mereka. Laki-laki tua hanya melihat Ostiens mencoba memahami yang sedang ada di hadapanya. Ostiens yang mematung selama berjam-jam tanpa makan minum dan tak banyak bergerak.

Malam sunyi di rumah tua yang kosong di desa sunyi. Malam pertama Ostiens menghabiskan malam duduk tak bersuara dan tak banyak bergerak. Kedua malaikat yang menolongnya sudah tertidur di depanya beralas kain lusuh yang selalu mereka bawa.

Ketika bintang zahrah merekah di langit timur. Laki-laki tua itu bangun dan langsung berlari keluar rumah.

“Bangun..!orang itu tidak ada” Laki-laki tua itu membangunkan gadis kecil yang tidur tak jauh darinya. Dan mereka segera berlari keluar rumah medapati Ostiens sedang berdiri di halaman rumah.

Ostiens melihat ke arah timur, mengharap cahaya yang hilang kembali lagi mempesonanya.


NING MAYA


Karya: Mawar
 

Aku berusaha melupakan semua tentangnya. Namun, setelah usaha itu nyaris sempurna, dia datang lagi dengan kesempurnaanya. Aku mencoba memahami yang sebenarnya kurasakan. Tapi aku lebih sering tak mampu dan gagal. Ahirnya aku dirundung gelisah.

Awalnya, aku berfikir itu hanya perasaan sesaat yang sewaktu-waktu bisa berubah dan akan menghilang. Karena terpesona kecantikanya atau karena alasan-alasan lain yang sudah biasa dirasakan semua orang.

Dulu, di masa lalu yang tak begitu lama. Sebelum mengenalnya aku sudah sering bertemu tanpa sengaja. Tapi tak ada sapaan basa-basi sekedar pengantar untuk perkenalan. Berlalu begitu saja.

Setelah pertemuan yang hanya menambah penasaran itu, tak  tersisa lagi selain penyesalan. “Mengapa aku tidak menyapanya sekedar sedikit basa-basi, menanyakan namanya, tempat tinggalnya atau apa sajalah?” Pikiran konyolku itu selalu datang dan berulang setiap pertemuan yang berlalu begitu saja.

Suatu ketika, aku dan seorang teman makan di warung angkringan yang tak jauh dari tempat tinggalku —sebuah kamar kost berukuran tiga kali empat. Perempuan itu datang dengan kedua temanya menghampiri teman yang bersamaku.

”Ki. Apa kabar ?” Kata salah seorang teman perempua itu pada Kiki temanku itu.

“ Kabarku baik. Ayo makan” Kiki menjawab dan menawarkan makan padanya.

 “Ya, terimakasih. Kita juga mau makan” Kali ini yang menjawab perempuan itu sambil membenarkan kursi, kemudian duduk tak begitu jauh di depanku. Sungguh aku tidak menyangka Kiki mengenal perempuan itu dan kedua temanya. “Ini peluang untuk menegenalnya”. Pikirku. Tetapi aku hanya diam saja, tak ada sepatah katapun terucap. Makanan yang ada dihadapanku menjadi alasanku untuk tidak bicara apa pun. Sebenarnya aku jaga ingin menyapanya, tapi tenggorokanku tiba-tiba terasa kaku. Suaraku seperti tertelan bersama makanan yang kumakan.

Perempuan itu, kedua temanya dan Kiki asyik mengobrol sambil menikmati makanannya. Dan aku, hanya gelisah dengan pikiranku sendiri, memikirkan banyak hal yang sebenarnya mengarah pada keinginan yang begitu kuat untuk mengenal perempuan cantik di hadapku.

Kiki ini, membiarkan aku begitu saja setelah ada teman ngobrol yang lain. Padahal dia bersamaku, tapi dia tidak mengajakku ikut seta dalam obrolan itu. Atau setidaknya memperkenalkan aku pada ketiga temanya. Aku menyelahkan Kiki karena tidak meperkenalkan aku pada temanya dan meyalahkan sikap bodohku, sampai tak terasa sudah cukup lama aku duduk diam di warung angkringan itu dan aku pun mengajak Kiki pulang. Pertemuanpun berlalu.

Pertemuan berbuah penyesalan di warung angkringan itu, hanya membuatku semakin gelisah. Memikirkan perempuan yang sebelumnya tanpa nama. Aku menyesal tidak berkenalan langsung, tapi dengan pertemua itu.

Aku sudah mendapat kebahagiaan sederhana. Aku tahu namanya waktu temanku memanggil namanya. Ning —itulah sepotong nama yang terukir dihatiku. Selanjutnya, mungkin jika  bertemu denganya lagi di mana saja, aku bisa memenggil namanya, Ning.

Ning. Itulah nama yang membuatkku sangat bahagia. Meskipun kebahagiaan yang sangat sederhana dan konyol.

Seminggu berlalu begitu cepat sejak pertama namanya terukir di hatiku. Selama seminggu, setip sore aku makan di warung angkringan itu, sendiri. Berharap bertemu lagi dengan Ning— dengan menyebut namanya setidaknya aku sudah tidak memikirkan perempuan tanpa nama.  Aku  bahagia meskipun hanya  sepotong nama yang tak lengkap.
Suatu ketika aku berangkat ke kampus. Aku bertemua Ning tak sengaja di jalan. Ning berdiri di bawah pohon beringin, seperti menunggu seseorang. Setelah langkahku semakin dekat dengannya, tiba-tiba aku gemetar dan suaruku terkunci di tenggorokan. Aku pun melaluinya dengan pikiran-pikiran konyol dan ahirya berbuah penyesalan.

“Siapa yang dia tunggu, pacarnya atau teman yang waktu itu” waktu menyebut kemungkinan pertama yang dia tunggu aku sedikit sedih dan tak bersemangat. Aku bahagia saat memikirkan kemungkinan kedua, seperti ada harapan untuk mengenalnya.

Dari jarak yang tak begitu jauh, aku duduk duduk dan memperhatikan dia dari balik dedaunan tanaman hias. Hanya untuk memastikan, siapa yang sebenarnya dia tunggu.
Dari kejauhan aku melihat seorang pria mengendarai sepeda motor “mungkin laki-laki itu yang dia tunggu” pikirku dengan kecut.  Tetapi laki-laki tidak berhenti dan melaluinya. Aku bersemangat lagi, setelah tahu bukan laki-laki pengendara sepeda motor itu yang dia tunggu.

Kemudian ada laki-laki lain yang berjalan kearahnya. Laki-laki itu semakin dekat. Dan hatiku semakin kecut. Dengan pikiran campur aduk, laki-laki itu berhenti dan menyapa Ning. Mereka kulihat mengobrol di bawah pohon beringin itu dengan akrab, entah apa yang mereka bicarakan. Aku semakin kecut dan menunduk sedih sampai tidak menyadari ada yang lewat tepat di depanku.

Lamat kudengar suara memanggil dari kejauhan “Ning, sudah lama nunggu ya, Maaf. Aku bengun kesiangan”. Suara itu membuatku langsung menoleh ke arah Ning di bawah pohon beringin. Aku seperti mendapat kebahagiaan baru. Ternyata bukan laki-laki itu yang dia tunggu. Ning menunggu temannya yang beberapa waktu lalu bertemu di warung angkringan. Kulihat ke arah yang lain, laki-laki yang baru saja mengobrol dengan Ning sudah jauh kemudian menghilang di tikungan.


Tidak terasa sudah cukup lama aku menyimpan rasa penasaran itu. Lebih dari satu tahun lamanya sejak aku tahu namanya. Selama itu juga aku selalu ketakutan, ragu dan menyesal setiap bertemu denganya. Berkali-kali bertemu tak sengaja dan memang kusengaja lewat depan rumah kontraknya yang tak jauh dari kostku. Aku hanya berani menatapnya dari kejauhan dan terus menoleh kearahnya setelah melaluinya.

Kesempatan berjabat tangan denganya pun datang tidak terduga. Setelah sekian lama kesempatan itu menggantung di langit harapan. Sore itu, di sebuah diskusi rutin organisasi mahasiswa aku di undang untuk sekedar berbagi pengalaman seputar di dunia sastra. Sebagai mahasiswa senior yang sudah dikenal sering mengkuti perkembangan dunia sastra.
Aku tidak tahu kalau dia akan mengikuti diskusi tersebut. Dia datang terlambat setelah kurang lebih tiga puluh menit diskusi dimulai dan langsung duduk dekat pintu masuk ruang diskusi. Mendadak jantungku memompa darah begitu cepat hingga keringat mengalir deras. Aku hentikan pembicaraanku sambil pura-pura berpikir. Kemudian untuk memecah kebisuan, kutarik nafas panjang dan membuka pembicaraan lain dengan menanyakan pada peserta tentang penjelasan singkatku tadi.

“ehmmm… Dari sedikit penjelasan tadi ada yang mau ditanyakan?” Suaraku sedikit gemetar. Pikiranku kacau. Hatiku bahagia karena dia ada dalam satu ruangan denganku. Dia duduk dekat pintu. Nyaris tidak kuperhatikan semua pertanyaan dari peserta diskusi. Moderator diskusi memintaku menjawab pertanyaan peserta, sambil menyentuh lututku. Saat itulah aku sadar tidak memperhatikan pertanyaan peserta dan sedikit ragu dengan yang ingin kubicarakan. Jadi, aku meminta moderator mengulang pertanyaanya.
Diskusipun berahir. Sebagian peserta keluar ruangan, sebagian lagi masih duduk di dalam mengajakku mengobrol santai. Ning masih di dalam ruangan. Dia menghampiriku. Menjulurkan tangannya yang untuk berjabat tangan. Jari-jari lentinya, kuku yang dibiarkan panjang sangat bersih.

“Ning Maya” dia menyebutkan nama lengkapnyanya. Kemudian duduk tak jauh tepat di depanku. Aku diam saja, tak menyebutkan namaku. Bukannya tidak merespon perkenalanya. Suaraku nyaris hilang termakan kebahagiaan. Bertahun-tahun yang kutahu hanya nama panggilanya.

“Ninga Maya asli mana?” tanyaku basa-basi untuk membuka pembicaraan lebih lama.

“Panggil saja Ning, aku asli dari Surabaya. Mas sendiri asli mana? Maaf. Tadi datang terlambat” Dia bicara dengan kelembutan dan senyum manis yang menusuk hatiku.

“ehmmm…dari mana ya, aku  dari kota paling timur Pulau Jawa, Kota Gandrung”. Aku menjawab dengan sedikti bercanda agar tidak terlalu tegang. Setelah lama duduk berhadapan dari jarak yang cukup dekat dan membicarakan banyak hal. Pertemuan pun berahir dengan bahagia dan aku tidak lupa menayakan tempat tinggalnya, serta meminta nomor telepon genggamnya.

Sore itu  menjadi penutup siang yang sangat indah. Tak ada kebahagian lain selain hari itu. Aku tak kuasa menahan kebahagiaan itu.
Itulah pertama kali aku berjabat tangan dengan Ning. Perempuan yang sangat kukagumi. Perempuan yang mengisi kekosonganku. Perempuan yang kucintai. Perempuan yang selalu menjadi pelita kebahagianku. Perempuan yang selalu memberikan semangat dan harapan baru setiap pagi. Perempuan yang ingin kuhormati sebagai perempuan yang mulia di hatiku. Aku selalu berharap ada jabat tangan pertemuan kedua.

Aku yakin segala sesuatu pasti ada sebab dan ada yang menyebabkan. Dulu aku sering berfiki ragu tentang “Apakah segala sesuatu harus ada sebab? Buakankah ada kejadian-kejadian yang tak terduga darang begitu saja tanpa sebab?” Sekarang aku sudah mulai mengerti. Segala sesuatu pasti ada sebabnya hanya saja kadang aku tidak menyadarinya.
Dan setiap detil peristiwa dalam hidupku hal sekecil apapun tidak sia-sia dan jangan disia-siakan, itu sangat berarti; dengan hal sederhana, sepele bahkan yang kupikir tak penting bisa membuat bahagia dan bisa juga sebaliknya.

Aku selalu mengharap jabat tangan yang kedua kalinya dengan Ning. Namun kali ini aku tidak akan menungu hal yang tak terduga lagi. Pagi harinya, berselang semalam dari perkenalan itu. Kukirimkan pesan singkat padanya melalu telepon genggamku.
“Selamat pagi. Pagi ini cerah sekali. Sayang sekali dilewatkan begitu saja. Bukankah pagi selalu menjadi awal yang baik untuk memulai harapan baru?”

Aku duduk di depan kost sambil membaca koran pagi, sambil menunggu  balasannya. Beberapa menit kemudian telepon genggamku berbunyi ada satu pesan masuk dari Ning.
“Selamat pagi juga. Ya, pagi ini cerah sekali. Sangat sayang sekali jika dilewatkan. Sedang apa mas ?” (Pengirim: Ning Maya. 05-04-09. 06: 15: 32)

Aku tersenyum bahagia membaca pesannya dan langsung kubalas.

“Sekarang sedang membaca koran pagi. Kamu sendiri sedang apa? Apa aktivitas hari ini ?”

Koran pagi yang kubaca tidak lagi membuatku tertarik. Aku duduk diam membaca ulang pesan singkatnya yang baru saja dikirimkan sambil menunggu balasan berikutnya. Lama sekali balasan darinya. Semangatku pun datang lagi setelah kubaca balasanya berulang-ulang.

“Sedang baca koran pagi juga, sambil minum teh hangat. Suka teh mas? Hari ini di rumah  saja tidak ada jadwal kuliah”  (Pengirim: Ning Maya. 05-04-09. 06: 17: 50)
Dengan girang aku segera membalas pesannya.

“Aku lebih suka teh buatanmu. Aku mau ke tempatmu. Mugkin sekitar pukul sepuluh. Boleh ?”
Kali ini lebih lama lagi dia membalasnya. Entahlah, apakah kerena aku terlalu berharap, hingga waktu seperti berjalan sangat lambat. Aku sudah mulai ragu akan jawaban yang akan kuterima dan sedikit pesimis. Ahirnya dia membalas.

“Boleh. Kubuatkan teh ya, Mas”  (Pengirim: Ning Maya. 05-04-09. 06: 21: 01)

Dengan senyum bahagia yang tak bisa kutampung kubalas pesannya.
“Terima kasih ya”

Matahari pagi itu begitu hangat, aku nyaris tidak percaya dengan baru saja kulakukan dan membuatku begitu bersemangat dan sangat bahagia. Tetapi  pagi seperti melambat. Nyaris diam. Pukul sepuluh seperti masih sepuluh hari lagi.

Aku berangkat menuju rumahnya dengan hati yang kebahagiannya tak tertandingi siapapun. Setelah hampir sampai di rumahnya. Aku mulai gelisah. Gemetar. Keringat dingin sedikit membasahi wajahku. Aku menarik nafas panjang. Setelah sampai di rumahnya dia sudah menunggu di beranda rumahnya.

Aku menjulurkan tangan untuk berjabat tangan. Dia menerima sambil menyungging senyum manis terbaiknya. Di meja sudah di sediakan teh dan makanan ringan. Mungkin untuk menghormati tamu, agar merasa betah atau sekedar menepati janji pagi tadi. Entahlah.

Setelah membuka obrolan ringan dan dengan sedikti canda tawa aku sudah tidak merasa gelisah. Aku teringat masa lalu yang kuhabiskan dengan kegelisahan dan selalu menunggu pertemuan yang tak terduga. Aku mulai memberaniakan diri untuk menceritakannya pada Ning. Aku mencari celah pembicaraan yang tepat untuk menceritakanya.

“Ning. Sepertinya aku sudah sering bertemu kamu sebelumnya.Wajahmu sudah tidak terlalu asing buatku. Kenapa tidak dari dulu saja kita berkenalan. Mengapa baru sekarang?” Suaraku sedikit terbata-bata mengakui ke konyolan dengan pengakuan konyol. Ning melihat dengan tatapan penasaran seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

Setalah aku selesai bicara. Ning masih diam tidak ada komentar. Beranda yang semula terdengar pembicaraan dan canda tawa mendadak menjadi sepi. Aku seperti orang asing yang yang bersembunyi di balik pagar sedang mendengar pembicaraan tamu asing di beranda rumahnya.

“Mungkin dia masih berusaha mengingat peretemuan-pertemuan denganku sebelumnya atau mungkin diamemang tidak pernah merasa bertemu denganku”  pikiranku mulai gelisah, jantungku semakin berdenyut kencang.

“ehmm…sepertinya kita memang sudah sering bertemu. Mas juga tdak terlalu asing. Mungkin bukan waktunya kenalan ya, Mas” dia sambil melihatku, seperti sedang meneliti apakah benar akulah orang yang sering bertemu dengannya. Aku lega mendengarnya.

“Mungkin” Jawabku singkat. Dan aku melanjutkan dengan nada serius.

“Tapi bukankah pertemuan-pertemuan kita itu sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Sebenarnya dari dulu. Setiap aku betemu denganmu ada keinginan menyapamu dan berkenalan. Mungkin karena aku terlalu bodoh dalam persoalan seperti itu, jadi yang ada ahirnya hanya kegelisahan dan penyesalan.”  Ning diam saja. Kali aku tidak bisa menduga-duga tentang yang dipikirkannya.

Tidak terasa lebih dua jam aku duduk di beranda depan rumah kontrakanya. Begitu cepat. Seperti baru lima menit aku duduk bersamanya. Aku memutuskan untuk segera menyudahi pertemuan siang itu. Meskipun masih terlalu berat jauh dari Ning.

“Ning. Aku mau pulang ya, sebelum diusir dari sini” pintaku sambil bercanda. Ning menyambutnya dengan senyum yang tak bisa kulupakan.

“Ah. Apa sih, Mas. Aku tidak akan ngusir kok.” Suaranya seperti memanja.

“Ah. bercanda saja. Aku mau pulang ya” aku berdiri dari kursi . Tapi Ning mencegahku.

“Jangan pulang dulu, Mas. Kalau pulang tidak boleh  kesini lagi” Ning memintaku dengan suara yang tak sanggup kutolak sambil memegang pergelangan tangan kananku. Memintaku duduk kembali.

“ehmm…masih ada yang mau Ning bicarakan sama, Mas. Penting. Aku mau meminta sesuatu sama Mas. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Aku ingin sekali punya Kakak, setidaknya ada seseorang yang bisa kupanggil kakak, meskipun bukan kakak kandung. Mas mau menjadi kakaknya Ning?. Aku sangat berharap, Mas menerimanya” lanjutnya “
Aku tidak mau seperti sebelumnya. Dulu ada seseorang yang sudah kuanggap kakak. Ternyata dia ingin menjadikanku kekasihnya. Aku tidak mau, seperti itu” Matanya seperti menerawang mengenang masa  lalu.

Aku terdiam tak sanggup bersuara. Aku menghela nafas panjang. Tangan kanannya masih memegang erat pergelangan tanganku. Aku tak sanggup lagi bergerak. Jantung brdetak kencang seperti ingin keluar dari dada. Tubuhku seperti tertindih batu yang cukup besar, hingga remuk.

“Semoga saja aku bisa menjadi kakak yang kau harapkan” Aku melanjutkan “Aku tidak mempunyai adik. Aku anak terahir dari tiga bersaudara. Aku belum pernah memanggil adik pada siapapun. Entah karena umurnya lebih muda dariku. Atau karena tingkatanya di sekolah  atau di kampus berada di bawahku. Baiklah. Aku terima permintaanmu, tapi aku tidak mau memanggilmu adik. Aku memanggilmu Ning saja” berat sekali kuterima permintaanya. Hatiku seperti memberontak tidak menerima permintaanya. Karena bukan seperti itu yang kuharapkan sejak pertama aku mengenalnya setahun yang lalu.

Tangan kanannya yang semula memegang pergelangan tanganku perlahan dilepaskan. Saat bener-benar lepas dari tanganya. Aku segera menjulurkan tanganku lagi untuk berjabat tangan perpisahan.

“Aku harus pulang. Sudah siang. Terima kasih telah menerimaku bertandang di berandamu yang cukup nyaman ini. Terima kasih untuk  sambutanmu dan semuanya.” Tanganku gemetar saat berjabat tangan denganya.

Aku pulang dengan perasaan campur aduk dan tercabik. Bahagia dan sedih berbenturan tak karuan. Kepedihan merontokkkan semangatku. Tubuhku terasa lemah.
Ada kata yang tak terungakap dari singkatnya pertemuannya; aku terpaksa telah berbohong di hari pertama aku bertandang ke rumahnya. Di hari pertama aku mencoba mengenalnya lebih jauh.

Ini bukan awal yang baik untuk memulai hal baik. “Aku masih belum bisa menerima permintaanmu, Ning.” Hatiku terus menggerutu. Mengutuk kebodohanku sendiri.
 Entahlah…
                       
       
                                                              Yogyakarta, Ahir 2009