Rabu, 06 Januari 2010

MENYAMBUT CAHAYA



Seberapa kuat sebuah keyakinan akan mengendalikan hidupku? Mampukah aku melawan mereka yang sangat berlawanan dengan keyakinanku sendiri? Tuhan… Jangan tinggalkan aku sendirian di sudut pengembaraan mencari-Mu. Jangan abaikan hasratku untuk menemukan-Mu!
Denting sendok yang beradu dengan piring pada makan malam itu seperti lonceng kematianku. Semua mata yang melihatku seperti hendak menikam. Ruang makan terasa sunyi. Obrolan di meja makan tidak terdengar. Tak banyak yang bisa kulakukan selain bercumbu dengan sendok dan garpu sekedar menghilangkan kegaduhan hati.
Makan malam sepi seperti itu sudah hampir setiap malam menyelimuti keluarga besarku. Hanya karena sebulan sebelumnya aku berdebat dengan kakakku soal keyakinan yang sudah turun temurun di anut oleh keluargaku. Kakak dan Ibu menggangap pendapatku bersebrangan dengan keyakinan keluarga selama ini. Hanya ayahlah yang memberikan kebebasan berpendapat tentang apa saja yang menjadi kegelisahanku.
“Hana, beberapa minggu ini saya lihat kamu lebih banyak diam. Ada apa?” Ayah memecah kebisuan di meja makan saat makam malam usai dan semuanya masih enggan meninggalkan meja makan.
“Tidak apa apa-apa, Yah” jawabku datar mencoba menutupi semua kegelisahanku.
“kau anakku, bicaralah pada ayah. Apa yang membuatmu gelisah?” ayah mendesak.
Ibu dan kakak meninggalkan aku dan ayah berdua saja di meja makan tanpa sedikit pun bersuara. Saat mereka sudah tidak terlihat. Aku mulai bicara pada ayah dengan keraguan yang semakin menyayat.
“ehmmm….Aku hanya mulai ragu dengan keyakinanku sendiri. Keyakinan tentang Tuhan yang selama ini mengisi kekosongan hatiku. Yang ternyata justru semakin kosong. Aku merasa bukan Dia, Tuhan yang seharusnya kusembah ”. Aku tahu jawabanku itu sangat tidak pantas di ucapkan di depan ayah.
“Apa maksudmu?” Suara ayah tinggi terperangah mendengar jawabanku. Seperti belum percaya dengan yang barus saja dia dengar. Aku diam saja. Melihat ayah seperti sedang di puncak kemarahan.
“Sebaiknya kita bicarakan ini di luar” suara ayah mulai terdengar pelan.
Ayah berdiri dari kursinya dan melangkah keluar rumah. Aku berdiri dan mengukuti di belakangnya menuju beranda rumah. Pembicaraan malam itu berlangsung hangat. Ayah tidak memaksakan keyakinannya. Aku diberi kebebasan untuk menetukan jalanku sendiri.
Suatu hari ayah pergi ke luar kota untuk waktu yang lama. Sejak kepergian ayah aku semakin terasing dari rumahku sendiri. Ibu dan kakak sudah tidak mau berbicara lagi denganku. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa berdamai dengan suasana rumah yang terasa sempit semakin ini. Aku sudah tidak tahan dengan keadaan ini. Keluargaku sepertinya sudah tidak menginginkan keberadaanku.
Di suatu pagi keiinginanku untuk segera meninggalkan rumah semakin kuat. Tanpa berpikir panjang. Aku pun meninggalkan rumah waktu itu juga. Meninggalkan secarik kertas  dalam buku di meja kerja ayah. Menyembunyikannya dari Ibu dan kakak agar hanya ayah yang membaca surat itu.

Dear Ayah,
Ayah, Hana pergi mencari keyakinanku. Tidak ada yang perlu Ayah khawatirkan. Aku akan mencari dan menentukan jalan hidupku sendiri. Sampaikan salamku pada ibu dan saudara-saudaraku karena aku tidak berdaya dengan tatapan mereka. Aku akan pulang saat aku menemukan yang kucari.
Salam hormatku,
Hana

Sebelum meninggalkan rumah di pagi yang masih gelap. Aku ke kamar ibu, melihatnya masih tertidur pulas. Aku merasa dia tahu kehadiranku dan aku merasakan sungguh kasihnya begitu berat melepasku. Setelah keluar dari rumah Aku berdiri di halaman rumah. setiap pojoknya serasa menahanku. Seperti tidak rela kutinggalkan. Ayah seperti memanggil-manggil dari pintu rumah dan Ibu menagisi kepergianku.
 Sebuah kereta pagi mengantarku pada tujuan pertamaku. Menemui seorang sahabat di kota lama. Dia berbeda keyakinan denganku, tapi dia sangat baik dan santun. Dia  mengenal banyak orang bijak yang bisa dijadikan pembimbing dalam pencariaku.
Sahabatku mengantarkan aku pada seorang bijak yang di kenal sebagai penafsir kebahagiaan. Seorang bijak yang selalu menebar cinta dan menghikmati hidup.  Seoarang yang santun dan ikhlas berbagi dengan siapa saja. Tanpa membedakan agama, keyakinan, dan latar belakang apapun dia terima di rumahnya. Seoarang bijak yang selalu memberi petunjuk  mengobati segala macam penyakit jiwa. Ketulusan dan keikhlasan hatinya, serta tutur bicaranya yang santun menyambutku saat pertama kali menemuinya.
Setelah beberapa kali menemui penafsir kebahagiaan itu. Berbagi denganya tentang segala hal yang kugelisahkan selama ini. Aku semakin memantapkan diri dengan jalan yang akan aku pilih. Semua yang di katakan orang bijak itu sangat masuk akal dan benar. Berbeda sekali dengan yang selama ini menjadi keyakinan keluargaku.
Di depan orang bijak yang telah menjadi guruku itu. Aku mengutarakan niat tulusku untuk meyakini kebenaran. Aku mengucapkan dua kalimat syahadat. Meyakini ke-esaan Tuhan dan nabi Muhammad rasul-Nya. Sang guru dan sahabatku mendengarnya dengan haru sampai meneteskan air mata.
Guru yang membimbingku ke jalan kebahagian yang kini telah kujalani berpesan agar aku terus belajar ilmu agama. Dia menganjurkan untuk belajar pesantren Kiai Zaini, namanya pondok pesantren putra dan putri al-Ikhlas. Di sebuah desa yang tak jauh dari rumahnya. 
Saat pertama datang ke pesantren, aku masih belum menggunakan jilbab. Seperti sahabat yang menemaniku dan wanita muslimah lain. Aku datang ke pesantren bersama sahabatku yang dengan ikhlas merelakan waktunya bersamaku selama ini.
Pengasuh pesantren itu sudah cukup tua. Usianya sudah sekitar tujuh puluh tahun. Tetapi wajahnya masih segar. Tak tampak kulit tua yang bergaris di wajahnya. Tubuhnya pus masih sangat tegar. Tutur bahasanya santun.
Setelah menceritakan tentang perjalananku sampai pertemuan dengan guru yang membimbingku, hingga kutemukan kebahagiaanku sekarang. Aku mengutarakan keinginanku untuk belajar ilmu agama di pesantrennya. Kiai Zaini sangat senang ketika aku memutuskan untuk belajar agama di pesantrennya.
Tidak seperti santri-santri putri lainnya yang tinggal di sebuah asrama yang yang yang berukuran lebih kecil dari kamarku yang dulu, aku disuruh untuk tinggal di rumah kiai Zaini. Sebuah kamar yang cukup besar. Sebuah kamar yang terletak di pojok kiri ruangan rumah kiai Zaini. Ada sebuah foto perempuan yang seumuranku tergantung di dinding kamar. Beberapa kitab yang berjejer di rak. Ada perasaan tidak enak yang bergelayut dihatiku. Karena aku diperlakukan secara istimewa oleh keluarga kiai Zaini. Terutama Nyai Romlah, istri kiai Zaini. Ia begitu menyanyangiku. Seolah-olah aku ini bagian dari keluarganya.
“Semenjak aku melihatmu pertama kali. Aku langsung teringat dengan anak perempuanku, Zahrah. Entah kenapa, aku seperti melihat sosok Zahrah pada dirimu” Kata nyai Romlah. Kulihat raut wajahnya yang selalu ceria itu berubah menjadi sedih. Ada kesedihan mendalam yang kutangkap pada wajahnya. Kesedihan yang tak ingin ia bagi pada siapapun.
“Memangnya apa yang terjai dengan Zahrah, Nyai?” Kataku membeeranikan diri.
Lama Nyai Romlah terdiam. Sebelum kemudian ia bercerita kepadaku tentang musibah yang menimpa Zahrah. Sebuah kecelakaan mobil telah merenggut anak perempuan kesayangannya itu setahun yang lalu. Barulah kemudian aku tahu kalau foto yang tergantung didinding itu adalah foto Zahrah. Dan kamar yang kutempati itu adalah kamar Zahrah.
Aku merasa bahagia. Karena aku menemukan sebuah keluarga yang sangat menyanyangiku. Tapi terkadang ada kesepian yang begitu dalam. Rasa rindu yang tak tertahankan. Seringkali aku teringat dengan ayah, ibu, dan kakakku. Bagaimana kabarnya mereka sekarang? Apakah mereka baik-baik saja? Ingin rasanya, aku pulang untuk sementara waktu. Menjenguk ayah, ibu, dan kakakku untuk memastikan kalau mereka baik-baik saja. Dan aku ingin berbagi kebahagiaan dengan ayah. Kareana aku menemukan sebuah keluarga yang sangat baik terhadapku. Sehingga ayah tak perlu menghawatirkan keadaanku. Tapi, aku tak mungkin pulang sebelum pencarianku selesai. Aku harus banyak belajar agama yang telah kuyakini.
Waktu terasa cepat berganti. Banyak hal yang berganti dan berubah. Tapi perhatian kiai Zaini dan Romlah tak pernah berubah kepadaku. Seringkali aku juga diajak oleh Nyai Romlah untuk menemani Nyai Romlah berceramah agama di pesantren-pesantran. Kepada orang-orang yang menanyakan tentang diriku. Nyai Romlah akan mengatakan kalau aku adalah anaknya.
Semakin lama keyakinanku tentang Islam semakin kokoh. Nyai Romlah dengan penuh perhatian terus mengajariku tentang ajaran Islam. Sesekali waktu, sehabis sholat shubuh. Nyai Romlah akan bercerita kepadaku tentang keutamaan-keutamaan nabi Muhammad. Kesetiaan-kesetiaan para sahabat nabi untuk membela agama Islam.
***

Suatu pagi, ketika Aku sedang duduk di Beranda. Membaca kitab Nashahiul Ibad: Nasehat Bagi Para Hamba-Hamba Allah, tahu-tahu Ramdhan duduk tak jauh di depanku.
“Kamu rajin sekali Hana” Kata Ramdhan mengagetkanku.
Aku tergeragap. Hampir saja kitab Nashahiul Ibad itu jatuh dari tanganku. Entah kenapa setiapkali aku berada di dekat Ramdhan hatiku berdetak kencang. Detak yang tak sepenuhnya kupahami. Apalagi ketika Ramdhan menatapku dengan tatapan yang begitu tajam. Tatapan yang seakan-seakan ingin menyelam ke dalam jiwaku. Di hadapannya aku seperti seekor rusa dihadapan seekor singa. Apakah aku mencintanyainya?
Barangkali denyar-denyar cinta itu mulai tumbuh di hatiku. Perempuan mana yang tak akan jatuh cinta dengan Ramdhan, putra kiai Zaini yang terkenal sangat alim itu. Putra kiai satu-satunya yang akan menggantikan kiai Zaini kelak. Disamping pengetahuan agamanya yang sangat luas, Ramdhan memiliki wajah yang sangat tampan. Perawakannya yang tinggi semampai. Wajahnya yang putih bersih, mata jernih dan tajam. Perempuan mana yang tak akan terpesona dengannya. Semua para santri putri selalu membicarakan putra kiai Zaini itu diam-diam. Barangkali aku juga seringkali memikirkannya.
“Melamun saja, Han? Apa yang kau pikirkan? Rindu keluarga ya? Kalau Hana ingin menjenguk keluarga, aku bersedia kok mengantar Hana. Itu kalau Hana tidak keberatan” Kata Ramdhan.
Hatiku semakin berdebar tak menentu. Aku mencoba menerka-nerka perasaan Ramdhan. Apakah ia mencintaiku? Ah, tidak mungkin, ia mencintaiku. Bagaimana mungkin ia mencintaiku?
“Oh, gak kok mas. Aku gak sedang memikirkan sesuatu. Aku hanya teringat dengan keluargaku” Kataku berbohong.
“Kalau Hana memang rindu pulang. Nanti aku bisa antar. Atau kalau gak mau kuantar. Biar Pak Halim saja yang menmdgantar” Kata Ramdhan. Pak halim adalah sopir kiai Zaini.
“Gak usah mas. Terimakasih. AKU belum ingin pulang ke rumah mas”
“Ya, sudah. Kalau begitu. Kalau ada apa-apa. Hana gak perlu sungkan-sungkan untuk meminta bantuanku. Aku pasti akan Bantu kok” Kata Ramdhan “” Teruskan bacanya. Maaf aku sudah ganggu Hana” Lanjut Ramdhan sambil berdiri.
“gak kok mas. Mas ramdhan gak ganggu. Aku malah senang ada teman ngobrol” Kataku.
“Aku mau ke perpustakaan saja” Kemudian berjalan menjauh dariku.
Aku mencoba menimbang-menimbang apakah perhatian mas Ramdahan selama ini adalah bukti kalau ia mencintaku. Ah, tidak mungkin mas Ramdhan mencintaiku. Apalagi aku mendengar kalau mas Ramdhan sudah bertunangan dengan Aisyah, putri kiai Manaf, pengasuh pesantren Baiturrahman.
***

Bulan jatuh di atas langit-langit pesantren Al-Ikhlas. Beberapa santri putri sedang menendangkan sholawat burdahnya Imam Busiri. Ada juga beberapa santri putri yang sedang belajar membaca kitab. Diruang tamu, tampak kiai zaini yang sedang membaca beberapa kita-kitab Hadist, seperti biasanya.
Malam semakin larut. Para santri putri yang semula mendendangkan sholawat burdah itu tak terdengar lagi.
“Belum tidur Han?” Kata Ramdhan yang tiba-tiba berada di sampingku.
“Belum mas. Belum ngantuk” Kataku, dengan pikiran sedikit kacau dengan kedatangan Ramdhan yang tiba-tiba.
“Mas juga belum tidur” lanjut Hana.
“Sama belum ngantuk” jawab Ramdhan sambil duduk tak jauh di depanku.
Di beranda hanya Hana dan Ramdhan. Duduk berhadapan. Tapi tak ada suaru pembicaraan apa pun di beranda itu.  
Lama kami saling terdiam. Bulan purnama di atas sana itu seperti menyihir kami berdua. Sehingga kami kehabisan kata-kata. Kami seperti menyelami perasaan kami masing-masing. Perasan yang tak mungkin kami jajaki kedalamannaya.
“Tahukah kamu Han, kalau selama ini aku diam-diam mencintaimu. Aku merasa kalau engkaulah perempuan yang kukagumi selamai ini. Perempuan yang selama ini aku cari” Kata Ramdhan. Ramdhan memecah kebisuan itu dengan perkataan yang tak bias di sangka oleh Hana.
Aku tergeragap. Perasaan haru bercampur bahagia. Karena selama ini Ramdhan mencintaiku.
“Tidak mungkin mas Ramdhan mencintaiku. Mas Ramdhan pasti berbohong” Kataku berusaha menyembunyikan perasaan bahagiaku.
“Sungguh aku mencintai, Han” Kata Ramdhan
“Bukankah mas Ramdhan sudah bertunangan dengan Aisyah,putri kiai Manaf”
“Ya, tapi aku tak mencintainya. Aku lebih memilih Hana untuk menjadi pendamping hidupku”
“Apakah hana juga mencintaiku?”
Aku tak bisa menjawab. Yang bisa kulakukan hanya menggangguk.
“Kalau Hana mencintaiku. Aku bisa memutuskan pertunaganku dengan Aisyah. dan kita segera menikah, Han”
“Bagaimana dengn kiai Zaini, Nyai Romlah. Tentu ia tak akan setuju”
“Sebenarnya sejak dari awal Abah dan Umi menginnginkan Hana menjadi pendamping hidupku. Kata abah, engkau akan menjadi istri yang baik. Itu sebabnya, Abah memintaku untuk menanyakan perasaanmu kepadaku. Jika kamu mencintaiku dan mau menikah denganku. Maka pernikahan akan diadakan secepat mungkin”
Aku sangat bahagia. Ingin rasanya aku menangis. Tapi aku tahan, agar air mataku tidak jatuh.
Malam itu, kubenamkan diriku pada rakaat-rakaat tahajud. Aku bersyukur karena tuhan memberkatiku. Bertemu dengan orang-orang yang begitu baik kepadaku.
***
Tanggal perkawinan itu sudah ditentukan. Undangan-undangan juga pun sudah disebar. Aku ingin pulang kerumah meski sebentar. Melepas rasa rindu yang tak tertahankan. tiba-tiba aku jadi rindu pada ayah, ibu, dan kakakku. Aku ingin berbagi kebahagiaan dengan mereka.