JAWA POS Kamis, 29-Maret-2006Skripsi, tesis, atau disertasi, bagi sejumlah mahasiswa tingkat akhir, dibuat
untuk memenuhi syarat kelulusan dan menyandang gelar sarjana. Mereka juga
berkesempatan membuat mahakarya. Apalagi, karya itu kemudian diterbitkan
sebagai buku.
Tetapi, hal itu menjadi momok bagi sebagian mahasiswa yang enggan atau tidak
mampu membuatnya. Tak heran, ada mahasiswa yang tidak lulus hanya karena
skripsinya belum selesai. Karena itu, tidak jarang mahasiswa yang menempuh
jalur cepat, yakni membeli.
Praktik memperjualbelikan skripsi, tesis, atau disertasi bukan hal baru lagi.
Kedengarannya praktik itu memang janggal. Tetapi, hal tersebut terus
berlangsung hingga sekarang. Dengan menyiapkan uang sesuai kesepakatan,
mahasiswa akan menerima skripsi atau tesis secara utuh. Ironisnya, pihak
akademik kurang bisa mengendus apakah skripsi mahasiswa benar-benar karya
autentik, plagiat, atau dibuatkan orang lain.
Di sinilah berlaku bahwa pendidikan dan gelar diperoleh mereka yang punya uang.
Lantas, tanpa rasa malu, orang membeli gelar ke mana-mana. Apalagi, di era
internet, banyak biro yang menawarkan jasa pembuatan skripsi, tesis, ijazah,
diploma, penghargaan, dan sebagainya. Karena punya uang dan cari nama, mereka
bersedia diperas untuk prestise yang tidak terhormat.
Kejahatan Akademik
Memperjualbelikan atau jasa pembuatan skripsi, tesis, atau disertasi adalah
kejahatan akademik atau academic crime dan moral assasine. Sebab, dalam kultur
akademik, penjiplakan karya ilmiah atau dibuatkan orang lain merupakan
pelanggaran yang tak bisa ditoleransi.
Sanksi yang dijatuhkan pun cukup ekstrem, yakni dikeluarkan dari institusi
pendidikannya. Tetapi, di negeri ini, kultur akademik hanyalah retorika.
Kejahatan seperti itu memang sudah legal dalam dunia akademik kita.
Bisnis dan biro jasa yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar
(memperjualbelikan skripsi, dll) adalah kejahatan akademik. Mereka adalah
tukang tadah atau penjahat yang menolong para kriminal untuk melakukan
penipuan. Terlepas dari halal tidaknya profesi, bentuk bantuan seperti itu
sebenarnya tidak diperbolehkan dalam proses belajar. Mahasiswa harus bisa
menyusun karya tulis sendiri. Kalau sebagai rekan diskusi mahasiswa, tentu itu
tidak masalah.
Bahkan, kadang-kadang ada beberapa mafia kampus (oknum dosen) yang menyediakan
bahan skripsi sekaligus memberikan bimbingan dengan sedikit perubahan di sana
sini. Tapi, sang dosen juga sangat hati-hati. Sebab, dia hanya menjual jasa
kepada mahasiswa yang benar-benar dekat dengannya.
Bagaimanapun, skripsi, tesis, atau disertasi adalah kebanggaan karya akhir kita
saat kuliah. Jadi, secara moral, kita harus membuatnya sendiri. Mahasiswa
seharusnya menyadari bahwa menulis adalah bagian dari proses belajar. Memang
pada dasarnya belajar menulis itu tidaklah mudah. Apalagi, budaya menulis dan
membaca masyarakat Indonesia sangat rendah. Sebagian besar masyarakat juga
lebih menggemari budaya tutur dan mendengar daripada budaya menulis dan
membaca.
Terkait dengan budaya menulis dan membaca, Thomas Tyner membahasnya dalam buku
Writing Voyag. Menulis merupakan seni mendayung gagasan, pikiran, ataupun
pangalaman dan karya tulis ibarat lautan yang tak bertepi (Aep Kusnawan, 2004).
Jadi, karena tidak terbiasa membaca dan menulis, menjiplak tulisan sudah
menjadi hal yang sangat biasa. Biro-biro yang menjual jasa tertentu, khususnya
pembuatan skripsi, tesis, atau disertasi, sangat mudah kita temukan.
Intelektual Pragmatis
Dalam kacamata pendidikan, hal itu merupakan kegagalan terbesar dalam
penyelenggaraan pendidikan. Lembaga pendidikan hanya melahirkan kaum akdemisi
instant dan pragmatis. Pelaksanaan proses belajar-mengajar sekadar memenuhi
tuntutan formal akdemik lembaga pendidikan, misalnya demi mendapatkan ijazah
guna memasuki dunia kerja.
Dalam perspektif sosiologi pengetahuan, kaum intelektual masuk dalam
stratifikasi kelas sosial baru yang menguasai pengetahuan. Dengan pengetahuan,
mereka memiliki kapital budaya (cultural capital) yang bisa dikembangkan
menjadi kapital uang atau kapital politik.
Namun, maraknya memperjualbelikan skripsi, tesis, atau disertasi membuktikan
bahwa kaum intelektual dan akademisi justru tidak memiliki kapasitas
pengetahuan yang memadai untuk dikembangkan, bagaimana mereka memiliki kapital
budaya?
Dalam konteks budaya, pendidikan merupakan proses pembudayaan. Kalau budaya itu
buah keadaban manusia, tentunya peserta didik dituntut menjadi manusia yang
beradab. Jadi, pendidikan jangan malah menjadikan manusia semakin tidak beradab
dan tidak manusiawi.
Bagaimana derajat akan diangkat bila proses mencari ilmu ditempuh dengan jalan
curang, gampang, asal penampilan, dan seterusnya. Dan, kejahatan akademik itu,
bila kita urut, masih sangat panjang. Yang jelas, sejak SD hingga perguruan
tinggi, kreasi dan hati nurani anak didik kita harus dibentuk.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar