Selasa, 17 September 2024

Tarik Ukur Rekomendasi Kandidat Kepala Daerah

 




Penulis : MB 


Jelang pendaftaran bakal calon kepala daerah yang sudah dijadwalkan KPU serentak 27-29 Agustus. Partai politik secara bertahap sudah mengeluarkan rekomendasi kepada bakal calon kepala daerah yang akan berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 27 November mendatang.

Apakah rekomendasi dari partai politik untuk pasangan calon gubernur atau pasangan calon bupati itu gratis ? Tidak asa kompensasi kepada partai politik? Pertanyaan ini yang sering dilontarkan masyarakat awam selama bertahun tahun setiap jelang Pilkada.

Meksipun partai politik ramai-ramai mengatakan bahwa tidak ada mahar politik, tetapi kecurigaan adanya mahar politik tidak bisa dibendung: Pasti ada kompensasi ekonomi atau politik dari kandidat kepada partai politik. Bukan menuduh, tetapi itulah pandangan dan kecurigaan yang muncul.

Keluarnya rekomendasi dari partai politik secara bertahap, menguatkan kecurigaan itu. Masih ada tarik ukur oleh partai politik terhadap kandidat. Tarik ukur kemampuan kandidat dalam mendapat rekomendasi, mulai dari ukuran kedekatan dengan partai politik secara ideologi dan kedekatan personal kandidat dengan pengurus partai politik. 

Atau mungkin tarik ukur kemampuan finansial kandidat. Bakal calon yang tidak mempunyai kemampuan finansial yang kuat, kemungkinan tidak mendapat rekomendasi. Dugaan setoran kandidat kepada partai politik untuk mendapat rekomendasi, menjadi hal yang tabu dan sulit dibuktikan. 

Tarik ukur kemampuan finansial ini bukan hanya untuk mendapat rekomendasi, tetapi hingga pemilihan. Karena pemilihan butuh modal, paling tidak untuk biaya kampanye dan saksi pada saat pemilihan.

 Apakah biaya itu bisa dibebankan kepada partai politik atau gabungan partai politik yang mengusung? Bisa saja hal itu terjadi, tetapi faktanya dari pemilihan-pemilihan berasal dari kandidat. Bisa dilihat dari setoran dana kampanye setiap usai pemilihan.

Dengan sistem pilkada saat ini, pertimbangan ideologi partai politik maupun program visi dan misi kandidat bukan prioritas utama. Kepentingan politik tidak hanya berorientasi kepada politik an sich. Kepada sistem politik keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara yang sejahtera.

Seperti yang ditulis Guru Besar Universitas Padjadjaran Bandung Prof. Dr. H. Asep Kartiwa, Drs., S.H., M.S, dalam pengantar buku sistem politik I Indonesia, karya Dr. Sahya Anggara, M.Si. (2013). Disebut dalam bahwa sistem politik merupakan urat nadi dalam berbangsa. Partai politik menjadi saluran darah bagi keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara yang sehat dan sejahtera.

Kemudian fungsi sistem politik yang sehat dan sejahtera tertumpu pada harapan yang besar dari bangsa dan negara untuk mengartikulasi “aliran darah” bagi tumbuh dan berkembangnya berbagai aspek kehidupan negara. Mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan hankam.

Tumbuh dan berkembangnya aspek-aspek tersebut ditujukan untuk memberi nilai tambah bagi masukan sistem politik dalam mengisi dan membangun infrastruktur dan suprastruktur politik yang merupakan prasyarat dan syarat bagi terwujudnya tujuan nasional negara Indonesia.

Dengan sistem politik yang sarat dengan kepentingan yang jauh dari sistem politik an sich, justru akan menjauhkan diri dari cita -cita partai politik yang semua bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. Sebaliknya, hanya untuk kepentingan politik golongan dan oknum tertentu.


Mahar Politik, Suburkan Korupsi 


Mahar politik sama dengan membangun dan mempertahankan budaya korupsi. Mahar politik merujuk pada biaya yang harus dibayar oleh calon legislatif untuk memperoleh dukungan dari partai politik atau kelompok tertentu dalam pemilihan. 

Bahwa mahar politik sering kali menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi integritas dan kualitas politik di Indonesia. Kandidat yang membayar mahar politik cenderung merasa berutang budi kepada partai atau kelompok pendukungnya, yang pada gilirannya dapat menyebabkan perilaku koruptif atau pengambilan keputusan yang tidak berpihak pada kepentingan publik. 

Karena setiap kandidat yang mengeluarkan dana untuk pemilihan, bukan tidak mungkin ketika menang akan memikirkan cara agar kembali modal awal untuk maju. 

Fenomena ini apabila terjadi akan mempengaruhi transparansi dan akuntabilitas dalam proses politik, di mana dana besar yang digunakan untuk mahar politik bisa menjadi sumber praktik korupsi yang lebih luas dan merusak sistem demokrasi.



* Pemerhati politik 

tinggal di Jembrana, Bali.


Mengakhiri Siklus Buruk Pilkada dan Politik Uang

 Penulis : MB



 









Politik uang hampir terjadi setiap pemilihan umum (pemilu), tetapi sulit dibuktikan. Bahkan, ada yang menyebut seperti buang angin, hanya ada bau tanpa terlihat wujudnya. Isu politik uang semakin kuat pada saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) sering kali diwarnai praktik politik uang yang merusak esensi demokrasi.

Kandidat yang mengandalkan kekuatan uang untuk meraih suara cenderung lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada kepentingan rakyat. Karena sejatinya Pilkada yang sejatinya menjadi ajang demokrasi sejati, kerap kali berubah menjadi medan perebutan kekuasaan instan bagi politisi berduit. Dengan politik uang, para kandidat berusaha mempengaruhi pemilih, sebuah strategi yang dianggap lebih efektif untuk meraih kemenangan. Praktik ini merusak integritas Pilkada.

Politik uang dalam Pilkada memperlihatkan bagaimana uang menjadi faktor penentu, menggeser ideologi dan program kerja. Pada akhirnya, kandidat yang terpilih dengan cara ini sering kali terjebak dalam lingkaran korupsi, karena harus mengembalikan “investasi” yang dikeluarkan selama kampanye. Hal ini menciptakan siklus kekuasaan yang korup, di mana kepentingan rakyat dikesampingkan demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Ketika uang menjadi alat untuk memenangkan kekuasaan, maka moralitas dan integritas terabaikan. Rakyat perlu disadarkan akan bahaya ini; suara yang diperjualbelikan hanya akan memperpanjang siklus kekuasaan yang korup.

Reformasi politik dan penegakan hukum yang tegas adalah kunci untuk memutus rantai buruk ini dan mewujudkan Pilkada yang bersih dan adil. Reformasi politik yang komprehensif dan penegakan hukum yang konsisten sangat penting untuk menghentikan praktik-praktik yang merusak dalam Pilkada, seperti politik uang dan korupsi.

Dengan memperbaiki sistem politik dan menerapkan hukum tanpa pandang bulu, dapat menciptakan proses pemilihan yang transparan dan adil, di mana kandidat terpilih benar-benar mewakili kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dengan cara ini, Pilkada bisa berjalan sesuai dengan prinsip demokrasi yang sebenarnya.

Pilkada sejatinya merupakan salah satu pilar utama demokrasi di Indonesia. Sebagai sarana untuk memilih pemimpin di tingkat lokal, Pilkada memainkan peran penting dalam memastikan bahwa suara rakyat benar-benar didengar dan diwakili.

Namun, meskipun Pilkada dirancang untuk mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi, realitas di lapangan sering kali menunjukkan hal yang berbeda. Politik uang, manipulasi kekuasaan, dan kepentingan kelompok tertentu sering kali mencemari proses ini, menjauhkan Pilkada dari esensinya sebagai mekanisme demokrasi yang murni.

Agar Pilkada dapat berjalan sesuai dengan prinsip demokrasi yang sebenarnya, diperlukan beberapa langkah krusial yang harus diambil oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah, partai politik, dan pemilih itu sendiri. Pertama dan yang paling mendasar adalah menegakkan integritas proses pemilihan. Ini mencakup segala hal mulai dari pencalonan kandidat hingga perhitungan suara akhir.

Setiap tahap harus dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas penuh. Dalam hal ini, peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara sangat vital. KPU harus memastikan bahwa aturan main ditegakkan tanpa kompromi, dan segala bentuk kecurangan ditindak secara tegas.

Selain itu, partai politik sebagai pengusung kandidat juga memegang tanggung jawab besar. Mereka harus memilih kandidat berdasarkan kemampuan dan integritas, bukan semata-mata karena popularitas atau kemampuan finansialnya. Dalam banyak kasus, kandidat yang diusung oleh partai adalah mereka yang memiliki modal besar untuk kampanye, sering kali dengan harapan dapat "membeli" suara rakyat. Fenomena ini tidak hanya merusak demokrasi, tetapi juga menciptakan pemimpin yang tidak kompeten dan tidak bertanggung jawab.

Menyoroti pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat. Demokrasi yang sejati hanya bisa terwujud jika rakyat sebagai pemilih memiliki kesadaran politik yang tinggi. Mereka harus memahami pentingnya memilih berdasarkan visi dan misi yang ditawarkan kandidat, bukan karena janji-janji material atau iming-iming sesaat. Pendidikan politik bisa dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari kampanye yang edukatif, diskusi publik, hingga program-program literasi politik yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan organisasi masyarakat.

Tidak kalah penting reformasi dalam penegakan hukum. Sistem hukum yang kuat dan tidak pandang bulu, kunci untuk memastikan pelanggaran dalam Pilkada, seperti politik uang atau manipulasi hasil pemilihan, dapat dihukum dengan adil. 

Hukum harus berdiri di atas semua pihak, tanpa pengaruh dari kekuasaan politik atau tekanan kelompok tertentu. Ini berarti aparat penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan, harus bekerja secara independen dan profesional.

Pada akhirnya, Pilkada yang sesuai dengan prinsip demokrasi yang sebenarnya hanya bisa tercapai jika semua pihak berkomitmen untuk menjaga kejujuran, keadilan, dan transparansi dalam prosesnya. Tantangan besar, terutama dalam konteks politik Indonesia yang sering kali masih dipengaruhi oleh praktik-praktik koruptif dan oligarki. 

Namun, dengan komitmen bersama untuk memperbaiki sistem dan memperkuat institusi demokrasi, bisa berharap bahwa Pilkada di masa depan akan semakin mencerminkan aspirasi rakyat dan menghasilkan pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi daerahnya.

Pilkada yang demokratis bukan hanya tentang prosedur memilih pemimpin, tetapi juga tentang bagaimana proses tersebut dapat memperkuat partisipasi politik rakyat, membangun kepercayaan pada institusi demokrasi, dan pada akhirnya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Oleh karena itu, menjaga integritas Pilkada adalah tanggung jawab bersama, sebagai bagian dari upaya besar untuk mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia

Reformasi politik yang menyeluruh menjadi kebutuhan mendesak untuk memutus rantai korupsi dalam Pilkada. Diperlukan upaya kolektif untuk mendorong Pilkada yang bersih dan adil, di mana integritas, visi, dan kemampuan kandidat menjadi dasar utama pemilihan, bukan sekadar seberapa besar modal yang mereka miliki. Dengan begitu, Pilkada bisa menjadi momentum untuk perubahan nyata, bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan.




*Muhammad Basir, pemerhati politik tinggal di Jembrana, Bali.