Penulis : MB
Jelang pendaftaran bakal calon kepala daerah yang sudah dijadwalkan KPU serentak 27-29 Agustus. Partai politik secara bertahap sudah mengeluarkan rekomendasi kepada bakal calon kepala daerah yang akan berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 27 November mendatang.
Apakah rekomendasi dari partai politik untuk pasangan calon gubernur atau pasangan calon bupati itu gratis ? Tidak asa kompensasi kepada partai politik? Pertanyaan ini yang sering dilontarkan masyarakat awam selama bertahun tahun setiap jelang Pilkada.
Meksipun partai politik ramai-ramai mengatakan bahwa tidak ada mahar politik, tetapi kecurigaan adanya mahar politik tidak bisa dibendung: Pasti ada kompensasi ekonomi atau politik dari kandidat kepada partai politik. Bukan menuduh, tetapi itulah pandangan dan kecurigaan yang muncul.
Keluarnya rekomendasi dari partai politik secara bertahap, menguatkan kecurigaan itu. Masih ada tarik ukur oleh partai politik terhadap kandidat. Tarik ukur kemampuan kandidat dalam mendapat rekomendasi, mulai dari ukuran kedekatan dengan partai politik secara ideologi dan kedekatan personal kandidat dengan pengurus partai politik.
Atau mungkin tarik ukur kemampuan finansial kandidat. Bakal calon yang tidak mempunyai kemampuan finansial yang kuat, kemungkinan tidak mendapat rekomendasi. Dugaan setoran kandidat kepada partai politik untuk mendapat rekomendasi, menjadi hal yang tabu dan sulit dibuktikan.
Tarik ukur kemampuan finansial ini bukan hanya untuk mendapat rekomendasi, tetapi hingga pemilihan. Karena pemilihan butuh modal, paling tidak untuk biaya kampanye dan saksi pada saat pemilihan.
Apakah biaya itu bisa dibebankan kepada partai politik atau gabungan partai politik yang mengusung? Bisa saja hal itu terjadi, tetapi faktanya dari pemilihan-pemilihan berasal dari kandidat. Bisa dilihat dari setoran dana kampanye setiap usai pemilihan.
Dengan sistem pilkada saat ini, pertimbangan ideologi partai politik maupun program visi dan misi kandidat bukan prioritas utama. Kepentingan politik tidak hanya berorientasi kepada politik an sich. Kepada sistem politik keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara yang sejahtera.
Seperti yang ditulis Guru Besar Universitas Padjadjaran Bandung Prof. Dr. H. Asep Kartiwa, Drs., S.H., M.S, dalam pengantar buku sistem politik I Indonesia, karya Dr. Sahya Anggara, M.Si. (2013). Disebut dalam bahwa sistem politik merupakan urat nadi dalam berbangsa. Partai politik menjadi saluran darah bagi keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara yang sehat dan sejahtera.
Kemudian fungsi sistem politik yang sehat dan sejahtera tertumpu pada harapan yang besar dari bangsa dan negara untuk mengartikulasi “aliran darah” bagi tumbuh dan berkembangnya berbagai aspek kehidupan negara. Mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan hankam.
Tumbuh dan berkembangnya aspek-aspek tersebut ditujukan untuk memberi nilai tambah bagi masukan sistem politik dalam mengisi dan membangun infrastruktur dan suprastruktur politik yang merupakan prasyarat dan syarat bagi terwujudnya tujuan nasional negara Indonesia.
Dengan sistem politik yang sarat dengan kepentingan yang jauh dari sistem politik an sich, justru akan menjauhkan diri dari cita -cita partai politik yang semua bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. Sebaliknya, hanya untuk kepentingan politik golongan dan oknum tertentu.
Mahar Politik, Suburkan Korupsi
Mahar politik sama dengan membangun dan mempertahankan budaya korupsi. Mahar politik merujuk pada biaya yang harus dibayar oleh calon legislatif untuk memperoleh dukungan dari partai politik atau kelompok tertentu dalam pemilihan.
Bahwa mahar politik sering kali menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi integritas dan kualitas politik di Indonesia. Kandidat yang membayar mahar politik cenderung merasa berutang budi kepada partai atau kelompok pendukungnya, yang pada gilirannya dapat menyebabkan perilaku koruptif atau pengambilan keputusan yang tidak berpihak pada kepentingan publik.
Karena setiap kandidat yang mengeluarkan dana untuk pemilihan, bukan tidak mungkin ketika menang akan memikirkan cara agar kembali modal awal untuk maju.
Fenomena ini apabila terjadi akan mempengaruhi transparansi dan akuntabilitas dalam proses politik, di mana dana besar yang digunakan untuk mahar politik bisa menjadi sumber praktik korupsi yang lebih luas dan merusak sistem demokrasi.
* Pemerhati politik
tinggal di Jembrana, Bali.


.webp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar