Meletusnya tragedi berdarah paling mengerikan dalam lembaran sejarah Indonesia yang mengakibatkan hilangnya jutaan nyawa samapai sekarang masih menjadi kontroversi yangt semakin melebar. Tragedi yang sering disebut Pemeberontakan Gerakan 30 September 1965 (G-30-S) masih belum jelas siapa dalang dibalik tragedi itu.
Setiap
kali membaca sejarah G-30-S, semua memusatkan pada Partai Komunis
Indonesia (PKI), yang menjadi terdakwa sebagai dalangnya. Mungkin kita
akan skeptis, merasa heran dan terkejut, ketiaka ada sebuah analisis
gerak sejarah, serta sisipan analisis dan data yang tergolong baru dan
langka, bahkan tidak kita temukan dalam discourse dan wacana “resmi ” yang kita nikmati selama ini, yang menagtakan bahwa dalang dalam tragedi berdarah sebenarnya bukan PKI.
Selama
ini buku-buku sejarah versi Orde Baru (Orba) yang dikonsumsi generasi
sekarang ini lebih menonjolkan PKI sebagai pembunuh berdarah dingin dan
memojokkan PKI sebagai dalang dalam peristiwa-peristiwa berdarah di
negeri ini. Hal tersebut diperparah dengan “buku bodoh” hasil dari
rekayasa politik Orde Baru dan “ film bodoh dan membodohkan
Penghianatan G-30-S/PKI ” yang ditayangkan setahun sekali dalam rangka
meracuni, menipu, dan membodohi generasi bangsa.
Stigmatisasi
batapa jahatnya “ orang PKI ” sudah sering kita dengar, mulai klaim
tentang PKI yang tidak percaya pada Tuhan, anti agama, pemberontak, dan
tidak bermoral sudah menjadi hal yang sudah lazim kita dengar,
seakan-akan memang itulah fakta dilapangan yang sebenarnya, bahkan
stigma tersebut dianggap sebuah kebenaran sejarah yang tunggal.
Sesungguhnya,
semua orang tahu dan sadar apa yang sebenarnya telah terjadi pada
peristiwa perlawanan dan tragedi berdarah tersebut, baik yang terjadi
disekitarnya maupun atau yang dialami sendiri. Akan tetapi mereka
memilih untuk membisu atau bahkan memilih untuk tidak tahu menahu
selamanya demi keselamatan jiwanya. lebih mengerikan lagi, sejak
berakhirnya peristiwa G-30-S/1965 anggota PKI maupun simpatisan sampai
pada keturunannya, diperlakukan sampai batas-batas kemanusiaan,
diculik, dibunuh, ditangkap kemudian ditahan yanpa proses hukum yang
jelas, dicabut hak-hak sipil dan kewarganegaraanya, dan diperlakukan
diskriminatif dan semua itu terus berlangsung sampai sekarang.
Kalau
kita melihat sejarah membaca ulang berdirinya PKI, tidak sejahat apa
yang tertulis dalam lembar suram buku sejarah selama ini. Lahirnya PKI,
tidaklah berangkat dari ruang yang kosong, artinya pengaruh
dan perkembangan PKI, tidak lain merupakan bentuk radikal dari Gerakan
Perlawanan bangsa Indonesia untuk mendapatkan haknya yang telah
dirampas oleh penguasa.
Pembacaan
ulang terhadap munculnya perlawanan-perlawanan bangsa Indonesia, mulai
dari pemberontakan PKI 1926, Peristiwa Madiun 1948, dan G-30-S 1965,
dari beberapa sisi mungkin sudah tidak asing kita baca di buku-buku
sejarah nasional Indodnesia selama ini, akan tetapi ada beberapa sisi
bahkan banyak diantaranya yang kadang belum kita ketahui, bahkan belum
pernah kita ketahui sebelumya.
Tragedi
berdarah G-30-S yang belum ada titik penyelesainya, menjadi titik
sentral pengungkapan sejarah tentang G-30-S terbatas pada seputar
memperdebatkan apakah PKI benar-benar terlibat atau tidak, CIA terlibat
atau tidak, Bung Karno terlibat atau tidak, rekayasa TNI Angkatan Darat
dan Soeharto atau bukan. Hemat penulis, yang dijadikan bahan
pengungkapan terjadinya tragedi berdarah tersebut hanyalah permasalahan
politik atau peristiwa Perlawanan PKI hanyalah peristiwa yang bermuatan
politik. Kekerasa politik yang dilakukan Orba memonopoli kebenaran
sejarah adalah peristiwa yang paling mengerikan di dunia, demi
melanggengkan kekuasaannya dan sebagai alat represifitasnya
menggulingakan lawan politiknya.
Sehingga
sejarah versi Orde Baru yang berhubugan dengan peristiwa berdarah yang
merenggut jutaan nyawa itu, dipaksakan merasuki alam pikiran rakyat dan
diyakini sebagai kebenaran yang tunggal. Sungguh sangat menyedihkan,
akibat dari karupsi sejarah demi kepentingan kekuasaan politik, dari
generasi ke generasi rakyat menjadi korban amnesia sejarah yang sangat
berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan berneagara.
Lembaran
sejarah tidak lain dari propaganda pihak pemenang untuk menjatuhkan
lawan. Karena itu, peristiwa peristiwa pemberontakan yang terjadi,
istilah yang digunakan dan sering bermunculan adalah istilah politik,
seperti ganyang PKI, pemberontakan untuk merebut kekuasaan dari
pemerintahan yang sah, adili soekarno dan lain sebagainya. Lebih-lebih
jargon-jargon yang terus dihembuskan tersebut, secara bertahap telah
membangun citra kebencian masyrakat terhadap PKI atau yang di PKI-kan.
Sehingga, demi mendukung kepentingan kekuasaan politik, sejarah
ditutup-tutupi atau tidak jujur terhadap sejarah, fakta sejarah yang
benar-benar terjadi hanylah menjadi dongeng yang seakan-akan fiktif
belaka.
Mengungkap
sejarah yang sebenarnay sangat diharapkan oleh generasi sekarang,
dengan begitu sejarah akan benar-benar menjadi pelita dimasa depan,
agar kita sadar bahwa dengan sejarah akan memeberi keseimbangan dalam
berfikir dan kearifan bertindak, untuk kini dan masa depan dengan
mempelajari dan memahami sejarah, kita dapat pelajaran moral dari
padanya.
*Penulis Redaktur majalah Geger (Gerbong Gerakan Rakyat), Yogyakarta



Tidak ada komentar:
Posting Komentar