Tahun-tahun terakhir ini, dunia sastra Indonesia geger
dengan datangnya dua isu “perempuan” dan seks. Isu perempuan dan seks
dalam arti pengarang perempuan yang semakain menjamur, maupun isu
tentang seks sebagai tema karya sastra yang sedang ngetren sekarang
ini. Meskipun tergolong muda tidak sedikit dari mereka (pengarang
perempuan) mendapatkan penghargaan sastra dari pengamat dan kritikus
sastra dan Klaim-klaim sebagai pendobrak tabu dan lain sebagainya.
Katrin Bandel dalam buku kumpulan esei-eseinya yang berjudul Sastra, Perempuan, Seks mencoba
merespon klaim-klaim yang selama ini yang cenderung memuja-muja
pengarang perempuan, sebagai penulis hebat, baru atau sebagai
“sastrawangi” dan lain sebagainya. Benarkah karya mereka demikian hebat
sehingga pantas dihebohkan seperti itu?
Ide
awal buku memberikan gambaran secara umum bagaimana seharusnya
pengarang sastra, karya sastra, dan pembaca teks (karya sastra) dalam
menjelajahi dunia sastra. Para ahli sastra sering mengatakan,-yang
menetukan makna sebuah karya sastra bukanlah pengarangnya, tetapi
pembaca. Pengarang bias disebut “sudah mati”(the author is dead),
pengarang tidak berkuasa lagi dengan apa yang telah ditulisnya, teks
sepenuhnya menjadi milik pembaca. Karya sastra sebenarnya adalah taman tempat bermain-main, dan berimajinasi dengan bebas(14). Dia memberikan contoh Supernova karya Dee yang menjadi bahan diskusi interaktif menarik dengan pembaca Supernova di hompage truedee.
Esei kedua dalam buku ini, “ Dukun dan Dokter dalam SastraIndonesi”
memuat sastra pasca-kolonial dan budaya hibrid Indonesia yang sangat
sedikit peminatnya dan jarang diperhatikan oleh pengarang perempuan.
Katrin mengambil tema Perdukunan dan kedokteran, karena di Indonesia ,
perdukunan dan kedokteran tidak pernah menjadi dua kekuatan oposisi
yang berhadapan secara frontal seperti dalam novel Lourdes karya sastrawan Prancis Emile Zola (1894). Dalam konteks zamannya waktu itu, Zola menegaskan lewat Lourdes
bahwa “keajaiban” yang terjadi di Laurdes sebetunya dapat dijelaskan
secara medis sebagai sesuatu alami dan tidak ada ajaibnya. Sedangkan
dalam karya sastra Indonesia pengarang masih ragu-ragu dalam mengungkap
hal semacam itu, lihat saja seperti Ni Rawit, Ceti penjual orang kaya AA. Pandji Tisna (1935), Siti Nurbaya karya Marah Rusli (1922), Para Priyayi
karya Umar Kayam (1992) disamping itu tokoh dukun dikonotasikan dengan
hal-hal negative, ilmuny palsu dan takhayul sepeti dalam novel Salah Asuhan
karya Abdoel Moeis (1928). Namun, cerpen karya Idrus (1948) memberikan
hal yangsanagt berbeda dengan sastrawan sastrawan diatas tadi. Idrus
dengan sangat tajam menyoroti persoalan negara pascakolonial seperti
Indonesia .
Beberapa judul esei Katrin tidak lepas membahas masalah sastra pascakolonial, esei Nyai Dasimah dan Nyai Ontosoroh: Sebuah Intertektualitas Pascakolonial, memuat masalah Intertektualitas antara Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa dengan salah satu cerita nyai dalam buku Tempoe Doeloe karya Pramoedya Ananta Toer, Tjerita Njai Dasima karya G. Franscis, ada kemiripan antara Njai Dasima Nyai dan Ontosoroh salah satu tokoh utama dala Tetralogi Buru
karya Pram. Namun, Nyai Ontosoroh versi Pram sebagai “Nayi” yang sama
sekali baru: cerita nyai lebih ditekankan kritik terhadap budaya Jawa
dan kolonialisme. Cerita dalam novel ini ini juga memberikan gambaran
tentang perempuan dan seks, tetapi masih tergolong “cerita porno” kuno, tidak, seperti sekarng ini.
Bahasan tentang sastra pascakolonial juga dalam esei, “Tetapi Kutukanku Akan Terus Berjalan”. Esei ini sebagai respon terhadap Maman S. Mahayana ketika mengkritisi novel Cantik Itu Luka
karya Eka Kurniawan dengan tidak adil. Maman menganggap itu adalah
novel “ngawur”, novel itu menceritakan sejarah versi Eka sendiri, dan
penciptaan versi alternatif sejarah Indonesia dengan gaya mimpi atau
gaya main-main. Versi sejarah Eka bukan berdasarkan pad fakta sejarah,
tapi itu adalah sejarh produk fantasi. Lebih parah lagi, Maman menggapa
novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan, sebagai novel gagal. Esei Katrin yang berjudu Dirgrace J.M. Coetzee membahas tentang sastra colonial dan pascakolonial, gender, dan pengalaman perempuan yang dipersoalkan (121)
Salah satu aspek politik sastra Indonesia yang lain dibahas dalam esei Sastra Koran di Indonesia. Menurut
Katrin koran di Indonesia menempati tempat yang luar biasa yaitu
sebagai publikasi sastra, sehingga karya sastra yang dimuat di koran di
sebut “sastra koran”. Berbeda dengan di Jerman “sastra koran”itu tidak
ada, karya sastra hanya dimuat di media-media tertentu.
Kritik-kritik Katrin terhadap kaya sastra pengarang perempuan dan seks sebagai tema karya sastra, pada bagian keenam sampai
terakhir buku ini. Dalam esei keenam, Religiusitas dalam Novel Tiga Pengarang Perempuan Indonesia ,
“religi” disini dipahami sebagai konsep yang mencakup segala macam
kepercayaan akan adanya hubungan manusia dengan kekuatan supranatural.
Pengrang perempuan tidak seperti yang dituduhkan selama ini, bahwa
mereka sama sekali telah meninggalkan moral dan agama. Religiusitas
disini bukan dalam arti yang sempit, seperti dalam empat novel karya
tiga Pengarang perempuan Indonesia yaitu Dee , Ani Sekarningsih, Clara
Ng.
Esei Lelaki Harimau
karya Eka Kurniawan, kisah tragis keluarga yang tidak bahagia. Dalam
masslah pendobrakan, pendobrakan tabu ala Eka ada yang baru, tidak
seperti pendobrakan tabu ala Ayu utami. Meskipun ini termasuk novel
psikologi tokoh Lelaki Harimau tidak dapat sepenuhnya dipahami dan
dijelaskan secara psikologi. Plot yang menunjukkan rumitnya hubungan
manusi inilah merupakan pendobrakan tabu yang sebenarnya (99).
Esei Vagina yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Felosentrisme Ayu utami, mengangkat katya Ayu Utami Saman (1998)
dan Larung (2001), karya-karya ini lebih dikenal sebagai “keterbukaan
baru” dalam membicarakan seksualitas. Namun, di dalamnya ada
ambivalensi. Represi seksualitas karya Ayu Utami memiliki pesan yang
eksplisit, yaitu membicrakan seks dengan sangat terbuka, provokatif,
menolak felantropisme pad umumnya mengakui orientasi seksual yang
plural. Reperesi hubugan homoseksualitas perempuan dengan perempuan
Saman dan Larung ternyata, justru mereproduksi tereotipe yang sangat
tidak menguntungkan bagi perempuan.
Esei yang berjudul Incest, sebenarnya adalah judul karya Wayan Artika yang ber-setting
budaya local Bali, karya ini bias dianggap “biasa-biasa saja”, tetapi
membuka gejolak yang begitu hebat dan berakibat buruk bagi Wayan Artika
sebagi penulis novel Incest. Incest, merupakan ungkapan
seksual yang paling keras terhadap larangan seksual yang lain. Incest
dalam kasus ini bukan hanya sekedar istilah antropologi yang
diskriptif, melainkan sebuah penilain yang mengandung penolakan dan
kritikan.
Bagian terakhir buku ini ditutup dengan esei yang berjudul Nayla: Potert Sang Pengarang perempuan sebagai Selebriti.
Esei ini berisi kritik-kritik tajam pada Djenar Maesa Ayu, sebagai
pengarang Nayla. Novel Nayla, eksplorasi seksualitasnya memang sangat
terbuka. Namun, plot ceritanya tidak tersusun secara kronologis atau
plotnya melompat-lompat, plot cerita novel ini sama sekali tidak jelas
kontibusinya bagi seluruh novelnya, eksplorasi psikologi novel Nayla
kurang meyentuh. Perujukan karya-karya Djenar yang lain dalam novel
Nayla dan karya karya lainay bias dipahami sebagai bagian dari
“pemainan gaya” untuk “mencanggihkan” karya belaka(155).
Meskipun buku ini kumpulan tulisan Katrin yang sudah dipublikasikan di berbagai media massa dan dengan tema-tema sangat beragam pula, mengambil judul Sastra, Perempuan Seks, (setidaknya) menjadi “katakunci” munculnya dalm melihat fenomena pengarang perempuan yang
butuh pengamatan kritis dan adil dari pengamat-pengamat,kritikus dan
penikmat sastra. Untuk perkembangan sastra Indonesia , argumen-argumen
dan kritik tajamnya merupakan sebuah kehormatan dan kontribusi sangat
besar bagi sastra Indonesia .
“Resensi Buku”
Judul : Sastra, Perempuan, Seks
Penulis : Katrin Bandel
Penerbit : Jalasutra, Jogjakarta
Cetakan : Pertama, 2006
Tebal : xxii + 166 Halaman


Tidak ada komentar:
Posting Komentar