Kamis, 26 April 2012

Menyoal Kekerasan dalam Rumah Tangga



Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah fenomena baru dalam keluarga, sejak awal penciptaan manusia hal semacam ini sudah terjadi. Tetapi KDRT bukanlah sebuah takdir atau kodrat, hukum alam atau fenomena alamiah yang dianggap memang seharusnya dan biasa terjadi dalam rumah tangga dan harus diterima dengan lapangdada. Terlalu naïf jika masih ada yang berfikir seperti itu. KDRT disebabkan oleh ulah manusia sendiri oleh egoisme personal, konflik antarperonal dalam keluarga, dan tatanan nilai-nilai adat atau kebiasaan.
Dalam temuan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak (PPTP2A), Kota Denpasar cukup mengejutkan, selama periode 2011 ditemukan sebanyak 239 kasus (Bali Express, 24/4). Temuan P2A, Kota Denpasar ini, berbanding terbalik dengan  wacana selama yang menyebutkan masalah ekonomi adalah faktor utama terjadinya KDRT dan meningkatkanya perceraian atau broken home. Karena pada kenyataannya ekonomi adalah salah satu faktor terpenting dalam keluarga, jika kebutuhan hidup sehari-hari sudah terpenuhi sangat jarang sekali dalam keluarga terjadi konflik yang disebabkan oleh kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan.

Keluarga adalah sebagai unit atau organisasi terkecil dan sekaligus terpenting masyarakat  dalam mendidik generasi-generasi masa depan yang lebih baik dalam etika sosial, spiritual, moral dan material.  Keluarga yang secara material cukup dan sejahtera pun belum tentu menjadi keluarga yang bahagia. Karena, dalam berkeluarga, tanpa menghayati dan menjalankan nilai-nilai  spiritual, moral dan falsafah hidup dalam berkeluarga mengakibatkan sangat rentan menjadi keluarga yang berantakan.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya KDRT diantaranya, faktor budaya.Dalam masyarakat yang masih kental dengan budaya patriarkinya, sosok laki-laki (suami)  diposisikan sebagai kepala rumah tangga yang berhak mengontrol segala aktifitas anggota keluarga, mulai akifitas seksualitas, produksi, keja dan lain sebagainya. Hirarki semacam ini: memenempatkan laki-laki dalam   posisi paling tinggi dan berkuasa, malah memberikan kesempatan pada laki-laki untuk lebih sering melakukan tindakan sewenag-wenang, melakukan kekerasan terhadap anggota keluarga, perempuan (istri) anak-anak dan anggota keluarga lainya.
Jika dikaitkan dengan temuan PPTP2A, Kota Denpasar yang menyebutkan faktor komunikasi sebagai penyebab utama terjadinya KDRT memang benar, karena semua faktor berkelit kelindan yang berujung broken home. Faktor komunikasi ini lebih banyak pada kalangan menengah ke atas, sedangkan pada kalangan menengah kebawah faktor utamanya adalah ekonomi, bahkan bias lebih kompleks lagi.
Pola komunikasi keluarga merupakan bentuk komunikasi keluarga yang dilakukan diantara anggota keluarga dalam menyampaikan pesan kepada anggota yang lain. Komunikasi keluarga adalah komunikasi yang terjadi diantara orang tua dengn anak-anaknya dan suami dengan istri, dalam berbagai hal sebagai sarana bertukar pikiran, mensosialisasikan nilai-nilai kepribadian orang tua kepada anaknya, dan penyampaian segala persoalan atau keluh kesah dari anak kepada kedua orang tuanya.
Jadi hakekat komunikasi keluarga dilaksanakan sebagai upaya untuk menciptakan keluarga yang saling mengenal dan saling memahami sesama anggota keluarga sehingga dari situ dapat tercipta suasana yang harmonis dalam keluarga tersebut. Untuk mencapai sasaran komunikasi seperti itu, kondisi keluarga yang harmonis sangat berpengaruh dalam komunikasi keluarga. Keluarga harmonis dapat berpengaruh terhadap proses komunikasi keluarga. Artinya, dalam keluarga jarang terjadi sikap pertentangan antar anggota, tidak saling menyudutkan atau mencari kambing hitam dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.
Secara psikologis, jika setiap harinya sang anak selalu disuguhi dengan tontonan yang menegangkan seperti, konflik keluarga, pertengkaran orangtua, kekerasan-kekerasan dan diahiri dengan perceraian akan sangat mempengaruhi perkembangan mental anak dan terlebih juga akan mempengaruhi perkembangan kecerdasan anak. Apalagi anak sampai menjadi korban dan pelampiasaan kemarahan orang tua, yang sangat jelas merusak mental perkembangan dan kecerdasan anak.
 Anak yang sering mendapat tekanan mental serius, depresi, stress dan tekanan lainya, akhirnya secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkah laku anak. Sehingga tidak jarang anak melakukan tindakan-tindakan asosial, seperti penyahgunaan narkoba, alkhohol dan penyakit masyarakat lainya.
Dalam keluarga, anak diasumsikan sebagai pengikut orangtua, jika membangkang maka tidak jarang anak menjadi sasaran kemarahan orangtua, kalau sudah seperti ini, anak cenderung dijadikan pelampiasaan emosi orangtua disetiap saat kapanpun orangtua suka. Konflik dalam keluarga tidak semestinya diakhiri dengan KDRT, lebih baik diselesaikan dengan kepala dingin, antikekerasan dan cara-cara lain yang tentunya lebih positif , imajinatif, dan membangun..
Bagaimanapun juga KDRT tidak pernah menghasilkan apapun, kecuali, krisis keluarga, mulai dari perceraian kehancuran rumah tangga perilaku asosial dan melahirkan sejuta persoalan lainya. Selanjutnya yang menjadi korabnya adalah anak. Perlu diingat, anak bukanlah entitas lain dalam keluarga yang harus diasingkan dari dinamika dalam membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera sesuai dengan apa yang cita-cita keluarga. Anak adalah pemegang estafet kehidupan sebuah  keluarga dalam mempertahankan budaya dan peradaban manusia.



Tidak ada komentar: