![]() |
Kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah fenomena baru dalam keluarga, sejak awal
penciptaan manusia hal semacam ini sudah terjadi. Tetapi KDRT bukanlah sebuah
takdir atau kodrat, hukum alam atau fenomena alamiah yang dianggap memang
seharusnya dan biasa terjadi dalam rumah tangga dan harus diterima dengan
lapangdada. Terlalu naïf jika masih ada yang berfikir seperti itu. KDRT
disebabkan oleh ulah manusia sendiri oleh egoisme personal, konflik
antarperonal dalam keluarga, dan tatanan nilai-nilai adat atau kebiasaan.
Dalam
temuan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak
(PPTP2A), Kota Denpasar cukup mengejutkan, selama periode 2011 ditemukan sebanyak
239 kasus (Bali Express, 24/4). Temuan P2A, Kota Denpasar ini,
berbanding terbalik dengan wacana selama
yang menyebutkan masalah ekonomi adalah faktor utama terjadinya KDRT dan
meningkatkanya perceraian atau broken home. Karena pada kenyataannya
ekonomi adalah salah satu faktor terpenting dalam keluarga, jika kebutuhan
hidup sehari-hari sudah terpenuhi sangat jarang sekali dalam keluarga terjadi
konflik yang disebabkan oleh kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan.
Keluarga
adalah sebagai unit atau organisasi terkecil dan sekaligus terpenting
masyarakat dalam mendidik generasi-generasi masa depan yang lebih baik
dalam etika sosial, spiritual, moral dan material. Keluarga yang secara
material cukup dan sejahtera pun belum tentu menjadi keluarga yang bahagia.
Karena, dalam berkeluarga, tanpa menghayati dan menjalankan nilai-nilai
spiritual, moral dan falsafah hidup dalam berkeluarga mengakibatkan sangat
rentan menjadi keluarga yang berantakan.
Faktor
lain yang menyebabkan terjadinya KDRT diantaranya, faktor budaya.Dalam
masyarakat yang masih kental dengan budaya patriarkinya, sosok laki-laki
(suami) diposisikan sebagai kepala rumah tangga yang berhak mengontrol
segala aktifitas anggota keluarga, mulai akifitas seksualitas, produksi, keja
dan lain sebagainya. Hirarki semacam ini: memenempatkan laki-laki dalam
posisi paling tinggi dan berkuasa, malah memberikan kesempatan pada laki-laki
untuk lebih sering melakukan tindakan sewenag-wenang, melakukan kekerasan
terhadap anggota keluarga, perempuan (istri) anak-anak dan anggota keluarga
lainya.
Jika
dikaitkan dengan temuan PPTP2A, Kota Denpasar yang menyebutkan faktor komunikasi
sebagai penyebab utama terjadinya KDRT memang benar, karena semua faktor
berkelit kelindan yang berujung broken home. Faktor komunikasi ini lebih
banyak pada kalangan menengah ke atas, sedangkan pada kalangan menengah kebawah
faktor utamanya adalah ekonomi, bahkan bias lebih kompleks lagi.
Pola
komunikasi keluarga merupakan bentuk komunikasi keluarga yang dilakukan
diantara anggota keluarga dalam menyampaikan pesan kepada anggota yang lain.
Komunikasi keluarga adalah komunikasi yang terjadi diantara orang tua dengn
anak-anaknya dan suami dengan istri, dalam berbagai hal sebagai sarana bertukar
pikiran, mensosialisasikan nilai-nilai kepribadian orang tua kepada anaknya,
dan penyampaian segala persoalan atau keluh kesah dari anak kepada kedua orang
tuanya.
Jadi
hakekat komunikasi keluarga dilaksanakan sebagai upaya untuk menciptakan
keluarga yang saling mengenal dan saling memahami sesama anggota keluarga
sehingga dari situ dapat tercipta suasana yang harmonis dalam keluarga
tersebut. Untuk mencapai sasaran komunikasi seperti itu, kondisi keluarga yang
harmonis sangat berpengaruh dalam komunikasi keluarga. Keluarga harmonis dapat
berpengaruh terhadap proses komunikasi keluarga. Artinya, dalam keluarga jarang
terjadi sikap pertentangan antar anggota, tidak saling menyudutkan atau mencari
kambing hitam dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.
Secara
psikologis, jika setiap harinya sang anak selalu disuguhi dengan tontonan yang
menegangkan seperti, konflik keluarga, pertengkaran orangtua,
kekerasan-kekerasan dan diahiri dengan perceraian akan sangat mempengaruhi
perkembangan mental anak dan terlebih juga akan mempengaruhi perkembangan
kecerdasan anak. Apalagi anak sampai menjadi korban dan pelampiasaan kemarahan
orang tua, yang sangat jelas merusak mental perkembangan dan kecerdasan anak.
Anak
yang sering mendapat tekanan mental serius, depresi, stress dan tekanan lainya,
akhirnya secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkah laku anak. Sehingga
tidak jarang anak melakukan tindakan-tindakan asosial, seperti penyahgunaan
narkoba, alkhohol dan penyakit masyarakat lainya.
Dalam
keluarga, anak diasumsikan sebagai pengikut orangtua, jika membangkang maka
tidak jarang anak menjadi sasaran kemarahan orangtua, kalau sudah seperti ini,
anak cenderung dijadikan pelampiasaan emosi orangtua disetiap saat kapanpun
orangtua suka. Konflik dalam keluarga tidak semestinya diakhiri dengan KDRT,
lebih baik diselesaikan dengan kepala dingin, antikekerasan dan cara-cara lain
yang tentunya lebih positif , imajinatif, dan membangun..
Bagaimanapun
juga KDRT tidak pernah menghasilkan apapun, kecuali, krisis keluarga, mulai
dari perceraian kehancuran rumah tangga perilaku asosial dan melahirkan sejuta
persoalan lainya. Selanjutnya yang menjadi korabnya adalah anak. Perlu diingat,
anak bukanlah entitas lain dalam keluarga yang harus diasingkan dari dinamika
dalam membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera sesuai dengan apa yang
cita-cita keluarga. Anak adalah pemegang estafet kehidupan sebuah
keluarga dalam mempertahankan budaya dan peradaban manusia.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar