Munculnya berbagai tindak
kerusuhan dan tindakan anarkis akhir-akhir ini justru telah disemangati
oleh api reformasi yang diterjemahkan secara ”membabi buta” yang terwujud
sebagai euforia demokrasi Jika dirinci beberapa faktor
penyebab timbulnya konflik antaretnik dan antaragama di Indonesia itu antara
lain: ketegasan identitas kelompok, derajat kohesi dan mobilisasi kelompok,
kontrol represif oleh kelompok-kelompok dominan.
Di berbagai daerah timbul
konflik, bahkan kerap konflik tersebut bermuara pada persinggungan agama. Persoalan
ini semakin krusial karena terdapat serangkaian kondisi sosial yang menyuburkan
konflik, sehingga kebersamaan dalam membangun negeri ini menghadapi tantangan.
Selain itu, kebanggaan terhadap kerukunan yang dirasakan selama bertahun-tahun
mengalami degradasi, bahkan menimbulkan kecemasan terjadinya disintegrasi.
Sebenarnya kecenderungan
disintegrasi bukan karena faktor ideologi dan agama. Persoalan ini lebih
didorong oleh faktor yang sangat kompleks. Masalah ketidak adilan di bidang
ekonomi, politik, sosial, agama, budaya dan hukum.
Selain itu
ketegangan-ketegangan primordial yang kurang terjembatani dalam jangka waktu
yang lama, otokrasi pemerintahan, keteladanan para pemimpin politik, agama dan
masyarakat yang semakin merosot. Oleh karena itu perlu ada upaya serius dalam mencari
solusi mencegah terjadinyaperselisiha, hingga mengancam kerukunan antara uamat
beragama.
Konsep kerukunan antarumat
beragama pernah di rumuskan dan di tetapkan oleh pemerintah orde baru
dengan melibatkan semua tokoh agama-agama yang ada di Indonesia. Selama masa orba relatif tidak ada konflik antar pemeluk
agama yang berbeda. Mungkin orang mengira bahwa itu merupakan keberhasilan
menerapkan konsep kerukunan. namun ketika di Ambon, Aceh, Kupang dan berbagai
daerah lainnya terjadi berbagai kerusuhan dan tindak kekerasan yang berbau
agama, konsep kerukunan antarumat beragama mulai di pertanyakan dan pada saat
orde baru yang ditekankan penguasa ialah pada stabilitas nasional dan demi
berelangsungnya pembangunan nasional yang lebih di tekankan pada pendekatan keamanan.
Meminimalisasi dan mengeliminasi konflik sosial, pendekatan represif atau
keamanan tidaklah tepat.
Salah satu bagian dari
kerukunan antar umat beragama adalah perlu di dilakukannya dialog antar agama.
Agar komuniukatif dan terhindar dari perdebatan teologis antar pemeluk agama,
maka pesan-pesan agama yang sudah di interpretasikan selaras dengan
universalitas kemanisiaan menjadi mudal terciptanya dialog yang harmonis. Agar
kerukunan hidup antar umat beragama menjadi etika dalam pergaulan kehidupan beragama.

Kebesaran
kebudayaan bangsa, terletak pada kemampuannya untuk menampung berbagai
perbedaan dan keanekaragaman kebudayaan dalam sebuah kebangsaan dengan suatu
ikatan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi menjadi sebuah ideologi
yang menjadi pedoman hidup mendasar bagi kebersamaan yang sederajat; dan sebuah
pedoman yang praktikal dalam menghadapi kehidupan nyata sehari-hari. Dalam
prinsip demokrasi ini, penekanan hak ada pada individu dan bukannya pada
kelompok-kelompok etnis atau keagamaan, sehingga sebuah bangsa yang dibangun
atas kekuatan dan kemampuan individu-individu; bukannya berdasarkan pada
kekuasaan kelompok-kelompok sukubangsa atau keyakinan agama.
Dengan keyakinan
semacam itu secara perlahan-lahan apa yang di idealkan sebagai negara beretika
agama –bukan teokrasi— akan menjadi sebuah kenyataan, karena masyarakatnya
tidak lagi terkotak-kotakkan atas sentimen agama tertentu, yang selanjutnya
umat beragama diharapkan mampu membangun sebuah tradisi wacana keagamaan yang
menghargai kehadiran setiap agama dan bisa menghadirkan wacana agama secara
toleran dan transformative.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar