Suatu ketika, ada seorang teman menelpon dan menyampaikan bahwa G meksipun sudah dilantik sebagai anggota dewan, tetapi tidak punya kursi. Jangankan ruang kerja, kursi saja tidak punya.
”Apa bener Q? Serius?” Tanyaku pada penelpon yang dipanggil Q, panggilan teman yang dikenal sebagai play boy bermodal es teh untuk merayu mahasiswi cantik saat kuliah di salah satu kampus di Yogya.
Saya langsung percaya penuh ceritanya. Karena pernah membaca berita tentangnya, anggota dewan berinisial G itu. Nyaris batal dilantik karena diberhentikan.
Lantas, setelah mendengar cerita itu. Saya membayangkan, G yang dulu saya kenal itu dengan bangga dan bahagia dilantik sebagai anggota dewan 1 Oktober lalu.
Saya bayangkan pada saat pelantikan senyum bahagia saat disapa diberikan ucapan selamat oleh keluarga, kerabat dan sahabat. Tapi sebenarnya mungkin hatinya getir.
Tapi sebenarnya kebanggaan dan kebahagiaan itu sebenarnya semu. Pelipur lara.
Ternyata drama sebelum hinga pelantikan itu, hanya awal dari getirnya seorang anggota dewan yang terhormat. Wakil rakyat yang dipilih rakyat langsung. Karena selanjutnya, G justru mungkin tersiksa dengan status sebagai anggota dewan yang terhormat. Bukan lagi sebuah kebanggaan, tetapi membuat hatinya teriris.
Karena kabarnya, kata teman yang sering bolak balik ke senayan ini, menyampaikan bahwa G memang dilantik sebagai anggota dewan, anggota fraksi partai bumi hijau tetapi kabarnya tidak diakui, tidak punya kursi di fraksi (semoga kabar ini tidak benar). Bahkan tidak menjadi anggota komisi apapun di Senayan, sehingga tidak punya kursi di komisi.
Lalu, saya mencoba melihat di website dewan. Mamang nama G ada, tetapi di kolom komisi hanya ditulis (-) tanda hubung atau tanda minus. Entahlah.
Padahal komisi di dewan, merupakan alat kelengkapan dewan yang penting. Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-undang. (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Karena hanya menjadi angota dewan, tidak menjadi anggota komisi, bahkan menjadi anggota fraksi yang tidak diakui, saya membayangkan bahwa G menjadi anggota dewan seperti gelandangan. Sebutan anggota dewan yang terhormat hanya plakat yang justru tidak terhormat di mata dewan lain. Atau mungkin dimusuhi, karena dianggap musuh bersama meksipun oleh angkat dewan satu partai.
Tapi semoga di sekelilingnya bukanlah anggota dewan penjilat pada tuan besar yang punya kuasa atau anggota dewan yanga hanya ingin menyelamatkan diri, mempertahankan posisi. Karena sudah terlanjur berada di zona nyaman, teman sebenarnya lawan.
Meskipun mungkin ada sesama anggota dewan yang karena kenal baik secara pribadi, karena pernah jadi senior-junior, atau seperjuangan saat mahasiswa. Entahlah...
Apa yang dialami G, penyebabnya sudah diketahui banyak orang. Bahkan menggegerkan republik ini.
Pria yang akrab disapa G itu diberhentikan sebagai anggota partai sebelum pelantikan. Sehingga otomatis namanya dicoret, tidak bisa dilantik dan namanya diganti dengan calon lain yang memperoleh suara di bawah G. Akan tetapi, G melawan dan akhirnya menangkan gugatan.
Keputusan penyelenggara sebelumnya yang sudah menetapkan pengganti G untuk dilantik, digugurkan penyelanggara pengawas. Nama G muncul lagi dalam surat keputusan sebagai anggota dewan terpilih yang memperoleh suara puluhan ribu, sekitar 80 ribu di dari daerah pemilihan dua Kabupaten di Jawa Timur.
Tetapi akhirnya, setelah tari ulur itu, ternyata G tetap tidak diakui sebagai anggota dewan dari Fraksi hijau itu. Nasibnya juga sam dengan GI, persis sama.
Entahlah, akrobat apa apa yang dipertontonkan elit politik itu. Meksipun saya mengenal G, bukan bermaksud membela. Tapi berilah kepastian. Karena pemilihnya, rakyat yang diwakilinya tentu membutuhkan kepastian.
Semoga cerita teman tentang G itu tidak benar. Dan tulisan ini hanya hayalan saya saja.
Salam damai sahabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar