Selasa, 08 Desember 2009

KETIKA BINTANG ZAHRAH MEREKAH





Seperti hari libur biasanya, semua santri putra setiap pagi setelah melaksanakan shalat subuh bergotong royong membersihkan komplek pesantren. Membersihkan   kolam tempat santri mandi, membersihkan masjid dan tempat wudhu, membersihkan pondok masing dan seluruh kompleks pesantren tidak luput dari kegiatan bersih-bersih bersama seminggu sekali.

Setelah gotong royong membersihkan komplek pesantren. Semua santri sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang bermain bola, bulu tangkis dan segala jenis olahraga ringan untuk mengisi waktu libur pesantren.

Ada juga santri yang hanya mengobrol bersama dengan minum kopi atau teh depan pondok. Seperti yang Adin dan beberapa temanya lakukan setiap hari libur. Setelah memebersihkan kompleks pesantren dan pondoknya Adin dan  ke empat temanya sibuk mempersiapkan kopi dan teh untuk menemani obrolan mereka di depan pondok.

Biasanya mereka bagi-bagi tugas sekedar membuat secangkir teh dan kopi. Ada yang bertugas mengembil air. Membuat api dengan kayu bakar di tungku. Meracik adonan kopi dan teh. Saat air mendidih sudah ada yang bertugas menuangkan air panas ke dalam cangkir yang sudah berisi racikan kopi dan teh.

Letak pondokan Adin dekat sekali dengan kediaman pengasuh pesantren. Hanya dibatasi dinding pagar setinggi dua meter tapat dibelakang pondoknya. Ketika Adin dan ke empat temannya sedang asyik membicarakn banyak hal, mulai dari pelajaran sekolah  dan cerita-cerita lucu khas santri.


“Santri Putra !” tiba-tiba ada suara perempuan yang memanggil dari balik dinding pagar belakang pondoknya.

“Ya. Ada apa” Jawab Adin bersemangat. Adin berdiri melihat dari celah dinding yang retak. Melihat seorang santri putri yang berjilbab putih.

“oh, santri putri” lanjutnya. Sambil menunduk malu. Karena tanpa disengaja mereka melihat celah dinding dan mata mereka saling tatap.

“Ibu Nyai minta ambilkan kayu bakar”  melanjutkan santri putri itu.

Adin segera melangkah bersemangat meninggalkan teman-temanya menuju tumpukan kayu bakar tak jauhd dari pondokanya.

Santri putri itu mungkin tidak memanggil Adin saat itu. Mungkin teman yang duduk di sebelahnya. Mungkin juga salah satu  teman yang ada di depannya. Entahlah, tetapi Adin seperti mendengar ada suara memanggil sebelum suara panggilan itu terdengar.  Hingga dia melihat ke arah dinding untuk memastikan yang dia rasakan.

Masih hangat dalam ingatan Adin waktu pertama kali mendengar panggilan santri putri itu. Saat itu hanya terdengar suaranya yang lembut memanggil dari balik dinding pagar pesantren. Dan saat jantungnya merdetak kencang melihat sekilas di balik dinding pesantren dari celah dinding yang retak.

Dengan kayu di rangkulan tangan kanannya. Adin melangkah senang menuju dapur. Dia ingin segera melihat lebih dekat perempuan berjilbab putih yang baru saja menunduk malu.

Di dapur hanya ada beberapa santri putri yang juga sedang sibuk memasak membantu Ibu Nyai.

“Mau diletakkan di mana kayu-kayu ini?” Tanya Adin, pada santri putri yang sedang sibuk memasak.

“Letakkan saja di samping tungku itu”  santri putrid yang memanggil tadi menjawab tanpa menoleh sedikit pun. Adin penasaran dengan wajah cantik yang tersembunyi dari dari balik jilbab putih itu.

Adin keluar dari dapur dengan langkah ragu. Mau mengambil kayu lagi atau kayu itu sudah cukup untuk memasak pagi ini. Tapi Adin memastikan untuk mengambil kayu lagi.
Kedua kalinya Adin meletakkan lagi kayu bakar di samping tungku itu. Santri putrid itu masih saja menyembunyikan wajahnya.

Tak ada teguran. Apakah kayu itu sudah cukup dan tidak perlu ambil lagi. Santri  putri itu dan yang lain pun diam saja. Dengan keraguan yang semakin tebal, Adin mengambil kayu lagi. Untuk ketiga kalinya Adin membawa kayu-kayu itu ke dapur. Santri putrid yang membuat Adin penasaran pun masih saja diam  menyembunyikan wajahnya.

“Kayunya sudah cukup” Adin menoleh ke arah asal suara perempuan yang terdengar berwibawa itu. Tetapi Adnin memastikan dia adalah Ibu Nyai. Istri pengsuh pesantren. Adin tak berani menatapnya.



“Tolong ambilkan air di sumur. Pompa airnya mati” Lanjut Ibu Nyai.
 Ibu Nyai di depannya. Adin menunduk ta`dhim.. Tapi Adin tak mungkin berani melihat wajahnya. Kemudian beliau masuk lagi ke kediamannya.

Adin masih punya kesempatan untuk tetap diam di dapur. Kesempatan untuk melihat wajah xantik santri putri itu. Jika punya keberanian yang cukup dia ingin sekali mengenalnya. Tetapi ketakutan atau entah rasa malu yang begitu tebal membuanya sulit bernafas dan suaranya pun beku.

Adin sudah menyelesaikan tugas-tugas dari Ibu Nayi. Tetapi Adin tidak bisa meninggalkan dapur begitu saja. Mungkin masih ada lagi yang akan diperintahkan Ibu Nyai.
Adin mencari-cari alasan untuk sekedaar membuat santri pitri itu menolehkan ke arahnya.

“Ning. Ada lagi bisa kubantu di sini?” Adin menyapa dengan malu-malu. Adin berharap santri putrid itu menoleh dan menjawabnya dengan segera. Tapi Adin tidak segera mendapat jawabam.

“ehmm…tunggu saja Ibu Nyai. Mungkin masih ada lagi” jawabnya. Adin sangat bahagia mendengar suaranya. Meskipun santri putri itu tidak sedikitpun menolehkan wajahnya.

Adin duduk di kursi kecil di dapur tak jauh di samping santri putrid itu. Adin duduk kaku. Keringat mulai membasahi punggung dan wajahnya. Bukan keringat karena dekat tungku dengan api yang membara membakar kayu. Keringat ketakutan dan rasa malu yang yang semakin tebal. Adin menghimpun keberanian untuk mencairkan suara yang kaku.

“Ning, namanya siapa?” Adin mulai berani menanyakan nama santri putrid itu  dengan suara gemetar malu. Setelah itu Adin seperti terlempar cukup jauh dan mendadak kaku. Tetapi Adin hanya mendengar detak jantungnya yang berdetak kencang. Santri putrid itu tetap diam saja menyembunyikan wajahnya. Sedang Adin mulai tak sabar menunggu jawaban.

“Jangan panggil Ning. Panggil saja namaku. Zahrah” santri putrid itu menjawab menyebutkannamanya dengan suara lembut dan tatapan teduh. Serta senyum manis yang tidak akan  dilupakan Adin.

“Inilah hari libur paling indah selama aku di pesantren”. Adin berteriak cukup lantang di dalam hati. “Semoga dia mendengarnya. Mendengar kebahagiaanku ini”. Itulah harapan Adin saat itu.

Adin tak bersuara lagi setelah pertanyaan itu. Tetapi hati dan pikirannya masih terus berbisik dan sesekali berteriak. Adin sangat bahagia sekali saat itu.

“Saat melihatnya, hatinya bergetar. Jantung berdetak kencang. Suaranya menusuk-nusuk hati. Melemahkan seluruh saraf. Nyaris tak ada gerak. Tak ada desir darah yang menghangat. Tak ada apa-apa. Selain getar hati yang mengguncang seluruh jagat. “Zahrah, inikah yang dinamakan cinta? Inikah yang membuat dunia ini tak berarti apa-apa? Zahrah, Apakah kau mendengar tangisanku. Tangis kerinduan dari pencinta yang menderita?” Adin bergumam.

Setelah lama menunggu Ibu Nyai ke dapur. Ahirnya Ibu Nyai datang. Beliau memint Adin membantunya membersihkan taman bunga di samping kediamanya. Sejak saat itulah Adin mulai dikenal oleh keluarga pengasuh dan sering dipanggil untuk membantu keluarga pengasuh.
***

Sebuah pagi yang biasa, di pertemuan yang tak terduga. Dengan sejuta pertanyaan yang masih mengendap dikepala dan kebahagiaan yang bersorak di hatinya  selama ini. Nyaris tanpa rencana Adin bicara di depan Zahrah begitu dekat. Adin memulai pembicaraan dengan bersemangat. Dia langsung bicara nyerocos tanpa basa-basi di depan Zahra.

 “Hari ini, genap satu tahun satu minggu dari saat pertama kali kita berkenalan. Selama itu juga aku memikirkanmu, Zahrah. Selalu menagis merindukanmu. Tetapi Aku sangat bahagia dengan semuanya. Aku bahagia sekali selalu memikirkannya. Mengingat semua tentangmu. Merindukan saat-saat terindah bertemu denganmu untuk yang kedua kalinya”. Adin diam sejenak menarik nafas panjang dan terus kutatap mata Zahrah yang mengeluarkan air mata dan jatuh menetes di tanganya. Lanjutnya

“Aku sadar dengan yang kulakukan saat ini salah. Kamu santri putri dan aku santri putra di pesantren ini. Tidak sepantasnya kita bicara berdua di ditempat seperti ini. Seakan-akan aku sembunyikan kesalahanku pada pesantren di balik ketaatanku membantu keluarga pengasuh.  Aku telah menjadikan kepercayaan pengasuh kesempatan untuk melanggar peraturan.” Adin menarik nafas panjang

“ Inilah  tempat yang sama saat pertama kita berkenalan. ” Adin bicara dengan sedikit meratap harap. Mengharap suara Zahrah yang dari tadi diam saja. Menunduk malu.

Entah apa yang dia pikirkan. Adin tak bisa menangkap yang dipikirkan Zahrah. Sampai ahirnya pertemuan pun berahir. Dan selalu ada yang tak terungkap dari setiap pertemuan. Kebebalan apa yang menguasai Adin. Pertemuan tak terduga pagi itu, membuatnya melewati batas kewajaran sebagai santri.

Pagi itu juga adalah awal dari terbukanya pintu-pintu kebaikan. Setelah pertemuan itu. Adin mulai berusaha keras berdamai dengan perasaannya pada Zahrah. Meskipun kadang Adin bertemu di sekolah, Adin berusaha untuk tidak memikirkanya lagi terlalu dalam. Menyembunyikan derita. Selalu memungkiri yang dirasakan. Meghindar jika semua tentang Zahrah menguasai pikirannya. Meskipun lebih sering gagal melakukannya.

Hampir setiap hari Adin betnemu dengan Zahrah. Adin menjadi terbiasa bertemu Zahrah tanpa bicara. Sama-sama diam menahan untuk tidak bertegur sapa. Tak ada pembicaraan apa-apa selama pertemuan itu. Keinginan menyapanya begitu kuat. Tetapi Adin bisa menahannya, meskipun usaha itu sedikit  menyiksanya.

Hampir setiap hari Ibu Nyai meminta Adin membantunya. Membersihkan halaman kediamannya dan membantunya di dapur. Adin senang dengan semua yang dikerjakanya. Tak ada keterpaksaan, meskipun kadang menumpuk dan di tambah tugas berat. Adin tetap mengerjakannya. Adin tak mengaharap balasan apa-apa dari semua yang dikerjakan. Karena kata orang tuanya, membantu keluarga pengasuh adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Kesempatan mengabdi pada guru adalah jalan menadapat barokah ilmu yang didapat di pesantren.

Pagi, setelah menunaikan shalat subuh dan mengaji Adin dipanggil Ibu Nyai. menyuruhnya menyapu halaman kediaman pengasuh. Adin sudah terbiasa dengan semua pekerjaan itu. Sedangkan Ibu Nyai di depan kediamnya memotong pohon-pohon hias yang sudah kering dan menatanya kembali agar terlihat rapi.
“Membersihkan rumah atau menyapu halaman. Membersihkan jalan yang terlihat kotor. Membuang kerikil atau duri yang berbahaya di jalan dimana saja sama halnya membersihkan hati untuk lebih bijak dan belajar ikhlas. Apa lagi di pesantren Insyaallah ilmu yang kauperoleh di Pesantren barokah” Kata Ibu Nyai yang berdiri tak jauh dari tempatku menyapu di halamnya.

Sambil mengayunkan sapu lidi di tangan. Adin mendengar semua yang dikatakan Ibu Nyai. Dia renungkan. Tiba-tiba Adin ingat dengan semua kesalahan selama di Pesantren. Adin merasa bersalah pada Pesantren. Adin  merengingat yang baru saja didengar dari Ibu Nyai

“Terlalu banyak kesalahanku pada Pesantren. Apakah masih bisa aku mendapat ilmu yang barokah?” Adin menyesal atas semua kesalahan yang telah  dilakukan. Penyesalan yang terus saja memenuhi hati dan pikirannya. Zahrah nyaris tak ada lagi di dalamnya.

Aktivitas Adin sehari-hari, selain sekolah dan mengaji adalah membantu keluarga pengasuh. Melaksanakan apa saja yang diperintahkan. Adin lebih sering mendapat tugas menyapu halaman kediaman pengasuh. Setiap pagi setelah sholat subuh dan mengaji Adin langsung membersihkan halaman kediaman pengasuh. Sore hari setelah pulang sekolah Adin kembali lagi ke halaman kediaman pengasuh. Adin Tanpa ada perintah pun dari Ibu Nyai, jika melihat halaman kotor Adin langsung membersihkannya.

Bagi santri pengasuh dan keluarganya adalah guru yang harus ditaati dan dihormati dengan ketulusan hati yang sangat. Jika ada pengasuh keluarganya berjalan di  halaman Pesantren dan jika bertemu di mana saja, seluruh santri menunduk ta`dim sampai pengasuh atau keluarganya tak terlihat lagi. Apa saja yang diperintahkan harus ditaati. Entah itu berseberangan dengan keinginan dan kemampuan santri yang diperintahkan. Santri harus mentaati perintahnya.
***

Malam sudah sangat larut, tapi Adin belum mengantuk. Sampai saat bintang Zahrah sudah mulai merekah. Adin pergi ke tempat wudhu di samping masjid Pesantren. Tiba-tiba di bawah pohon buah rambutan depan masjid seperti ada yang berkelebat masuk ke dalam masjid. Tidak ada kecurigaan apa-apa pada sosok yang baru saja berkelebat. Setelah selesai megambil wudhu Adin langsung masuk ke masjid. Tidak ada siapa-siapa di dalam masjid. Adin mulai merinding ketakutan. Tetapi tetap saja dia melaksanakan shalat malam sampai selesai.

Dari dalam masjid. Adin melihat sosok bersorban putih berjalan di samping masjid menuju kediaman pengasuh yang berada tepat berada di belakang masjid. Adin langsung keluar masjid penasaran dengan sosok yang baru saja melintas. Kemudian sosok misterius itu menghilang dikegelapan. Pikirannya dipenuhi rasa penasaran yang sangat kuat. Ketakutan mulai merambat pelan. Tubuhnya menggigil.

Selama tiga malam berturut-turut. Setiap selesai shalat malam. Adin melihat hal yang sama. Sosok bersorban putih itu  berjalan menuju belakang masjid.
Pada malam berikutnya. Adin lebih awal melaksanakan shalat malam dari biasanya. Setelah menyelesaikan shalat malam. Adin duduk di bawah pohon buah rambutan di depan masjid yang gelap. Berharap sosok bersorban itu lewat di samping masjid.

“Assalamualaikum” ada suara yang menggema tepat di  samping adin dan membuatnya merinding ketakutan. Terasa sangat dekat. Tapi Adin tidak berani menoleh.
“Waalaikumsalam” Suarunya gemetar menjawab salam itu. Pelan-pelan Adin memberanikan menoleh. Wajah asing yang berada di sampingnya membuatnya bergetar kagum.  Ketakutan pun hilang. Wajahnya putih bersih bersinar dengan sorban putih di kepalanya. Suaranya sangat lembut.

“Nak, sedang apa kaududuk di sini sendiri?” Suara itu belum pernah Adin dengar sebelumnya. Menggema dalam hati. Adin duduk diam menundukkan kepala. Tak kuasa melihat sosok asing yang berada di sampingnya. Adin tidak tau harus menjawab apa. Sampai suara itu menggema lagi dalam hati, Adin belum bisa menjawab.

“Saat bintang Zahrah merekah di sepertiga malam, malaikat di turunkan ke bumi. Maka sambutlah cahaya-Nya dengan shalat malam dan dzikir. Jangan mengharap apa-apa teruslah mendekatkan diri pada-Nya. Beribadahlah karena kaucinta pada Allah yang patut di cintai” Suara itu membuat Adin merunduk malu. Jantungnya berdetak cukup kencang. Adin bertanya-tanya dalam hati “Siapakah sosok bersurban putih di sampigku ini?” Adin tidak sanggup menggerakkan bibir. Suarnya terhenti di tenggorokan.
“Nak, lanjutkan wiridmu.” Lanjutnya “Assalamualaikum”. Laki-laki bersorban itu mengucapkan salam sambil memegang punggung Adin yang gemetar.

 “Waalaikumsalam” Adin menjawab salam dengan suara yang dipaksakan menembus kegugupan.

Sosok laki-laki bersurban itu berjalan di depannya menuju kediaman pengasuh di belakang masjid. Adin terus melihatnya penasaran.

Adin mengenal semua keluarga pengasuh. tetapi sosok yang baru saja menemuinya sangat asing. Dia bukan santri atau tetangga pesantren. Adin sangat mengenal lingkungan pesantren ini. Tetapi Adin belum pernah  melihatnya.

Adin menunggunya pada malam-malam berikutnya. Tetapi sosok laki-laki bersurban itu tidak pernah terlihat lagi. Sampai berminggu-minggu. Berbulan-bulan. Selama itu juga setiap malam setelah shalat malam Adin duduk di bawah pohon buah rambutan itu.

Ahirnya setelah setahun berlalu Adin memberanikan diri menanyakan pada Ibu Nyai tentang sosok laki-laki bersurban yang pernah menemuinya. Sambil membantu Ibu Nyai di dapur yang sepi. Hanya ada ibu Nyai, Adin dan Zahrah. Ibu nya memotong sayur dan Zahra membuat bumbu.

Sambil membantu Ibu Nyai memotong sayur. Adin menceritakan semua yang telah dia alami pada saat bintang Zahrah merekah. Tentang sosok bersurban putih yang pernah menemuinya di bawah pohon buah rambutan depan masjid Pesantren dengan wajah penuh kharisma.

Ibu Nyai  memandang Adin tajam. Seperti sedang membaca pikiran dan berusaha memahaminya.

 “Kamu jangan takut. Sosok bersurban putih yang menemuimu itu Kakek saya. Beliau adalah Kyai Sepuh pendiri Pesantren ini” lanjut Ibu Nyai “ Seharusnya kaubersyukur bisa bertemu denganya” Adin gemetar mendengar jawaban singkat Ibu Nyai.

Dengan jawaban Ibu Nyai yang cukup singkat. Adin semakin gelisah, berusaha memahami yang di katakana Ibu Nyai  “Mungkin sosok bersoraban ang katanya Pendiri pesanren ini  sudah sering menemui Ibu Nyai. Tetapi benarkah beliau memang Kyai Sepuh pendiri pesantren? Bukankah beliau sudah lama meninggal? Yang makamnya setiap hari kukunjungi untuk membaca tahlil?” Pertanyaan-pertanyaan itu terus berulang dalam pikiran Adin. Hingga tanpa sadar Adin hampir memotong jariku dengan pisau sayur.

“Awas tanganmu kena pisau !” Suara Zahrah membuyarkan lamunannya. Adin langsung diam dan melihat Zahra yang duduk berhadapan dengannya. Senyumnya merekah. Tatapan matanya membuat Adin menunduk malu. Adin tak kuasa melihatnya. Tetapi kekaguman yang dulu pernah membuatnya sangat tersiksa sudah menjadi rasa yang biasa.
                  

                                                            Yogyakarta, Ahir  2009


Tidak ada komentar: