Selasa, 08 Desember 2009

KOTA CAHAYA




 Hampir setiap hari Ostiens menghabiskan waktunya duduk di beranda lantai dua rumahnya. Selama berbulan-bulan dia hanya melihat ke arah timur. Tepatnya di sebuah daerah yang berada jauh di Timur yang entah.

Sebuah daerah yang memancarkan cahaya yang mengagumkan. Siang dan malam selalu ada yang cahaya yang memancar. Dia memandangi cahaya yang begitu lembut dan indah itu. Langitnya sangat cerah. Tak pernah ada mendung gelap. Hujan yang sangat lebat dan panas yang menyengat.

Semakin lama, cahaya itu mememenuhi hati dan perpikiranya. Dia mulai membuat kemungkinan-kemungkinan untuk menjangkau jauhnya cahaya itu. Mungkin cahaya itu berasal dari sebuah kota yang cukup megah dengan lampu-lampu yang  berkejaran dengan malam. Sinarnya membumbung ke langit menembus kabut malam. Bias cahanya membuat gulungan awan seperti cahaya merah menyala di angkasa.

Cahaya itu sekilas tampak seperti tidak datang dari bawah, tetapi datang dari atas. Mungkin ada bintang atau bulan yang hanya menyinari daerah itu setiap malam. Mungkin ada benda langit yang bisa menyimpan sinar matahari berada tepat di atasya dan tak penah berpindah.

Ketakjuban itu semakin kuat.  Kemudian dia menyebutnya sebagai Kota Cahaya. Dan dia pun memutuskun untuk mengetahui lebih dekat dan berada di kota itu. Ostiens tidak pernah pergi sejauh ini sebelumnya. Dengan bekal rasa takjub dan keingintahuan yang besar, dia meninggalkan keluarganya. Tidak ada yang tahu keberangkatanya. Dan tidak ada yang tahu kemana dia akan pergi. Dia berangkat saat semuanya sedang tertidur lelap. Membawa tas kecil berisi pakaian dan sejumlah uang untuk bekal diperjalanan. Dia berjalan menuju kota bercahaya itu. Dia pun tidak pernah bepikir berapa lama perjalanan yang akan ditempuh menuju Kota Cahaya itu.

***

Dia berjalan sudah cukup jauh dari rumahnya. Tidak pernah memalingkan wajahnya dari cahaya di arah Timur itu. Tak pernah ada kehawatiran atau ketakutan dengan yang akan ditemuinya. Tak pernah ada penyesalan dengan yang di tinggalkanya. Dia selalu berhenti di kota yang dilaluinya untuk memastikan Kota Cahaya tujuanya. Tetapi bukan kota itu yang dia cari. Kota Cahaya itu masih terlihat jauh di Timur.

Dia tida pernah bertanya tentang Kota Cahaya itu pada orang-orang yang ditemuninya di tempat-tempat yang dia singgahi. Saat dia sampai di sebuah desa sepi yang jauh dari kota. Dia mulai lelah dan hendak beristirahat.

Kemudia dari kejauhan dia melihat seseorang yang sedang duduk beristirahat di bawah sebuah pohon. “ Dari warna kulitnya, pakaian yang dikenakan, tas yang di letakkan  sampingnya dan wajah lelah karena mungkin dalam perjalanan jauh. Dia pasti pengembara dari barat yang kelelahan. Tetapi kemana dia hendak pergi. Apakah dia juga menuju ke Timur, ke Kota Cahaya itu atau dia datang dari Kota Cahaya di Timur dan hendak pulang ke barat?” Dia menghampiri pengembara itu dengan  penasaran.

“apakah Anda pengembara dari Barat?” Tanya pengembara itu, sebelum Ostiens menanyakanlebih dulu. Saat itu Ostiens sedang membersihkan batu untuk tempat duduk di bawah pohon tak jauh dari pengembara itu duduk.

“Ya, saya dari Barat. Dari  desa Tulip ” Ostiens menjawab singkat. Menarik nafas panjang sambil metakkan tas di sampingnya.

“ Kemana tujuan Anda, hingga berjalan sejauh ini?” Pertanyaan Pengembara itu membuat Ostiens diam tercengang. Dia tidak tahu tempat tujuanya, dia hanya ingin pergi ke Kota Cahaya yang entah di mana letaknya. Dia mulai memberanikan diri menayakan tentang Kota Cahaya pada pengembara itu.

“Saya selalu melihat cahaya yang menyala di langit daerah Timur. Dan langit yang sangat cerah di siang hari.  Mungkin sebuah kota megah dan selalau bercahaya. Saya menuju Kota Cahaya  itu” Ostiens menjawab yakin dengan tujuanya.

“Ha… ha… ha…! Kota Cahaya apa yang  Anda cari. Tidak ada kota bercahaya di Timur.” Lanjutnya “Saya sudah dari Timur, tidak pernah ada yang membicarakan kota itu. Di timur Anda hanya akan menemukan kota yang kering gersang dan sepi.” Pengembara itu tertawa  mendengar jawaban Ostiens.

“Lihatlah ke Timur. Pernahkah Anda melihat cahaya selembut itu dan langit secerah itu sebelumnya?” Ostiens sambil menoleh dan menatap ke arah ke arah Timur.  Seperti memberi isyarat pada Pengembara untuk melihat ke arah yang dia lihat. Ostiens melihat wajah Pegembara itu. Dari sorot mata dan wajahnya. Pegembara itu takjub dan heran melihat ke arah yang sudah dia lalui. Sebuah cahaya yang sangat lembut terpancar. Langit yang sangat cerah. Dia diam saja dan seperti meyesali tawa dan yang baru saja dia katakana pada Ostiens.

Hari sudah mulai remang. Matahari perlahan tenggelam di langit barat. Cahaya itu semakin jelas terlihat. Pengembara itu, melihat takjub pada cahaya yang baru saja dilihatnya. Tidak sedikit pun bersuara. Semakin gelap, Kota Cahaya semakin terlihat lebih dekat. Pengembara itu masih duduk termenung melihat keindahan semburat cahaya yang anggun di Timur.

“Malam ini saya akan bermalam di sini. Apakah Anda ingin melajutkan perjalanan ke Barat?” Tanya Ostiens pada pengembara yang sedang duduk terpaku melihat ke angkasa di ufuk timur. Tak ada jawaban. Pengembara itu masih belum melihat ketakjub cahaya itu. Ostiens memegang punggung pengembara itu dan mengulangi pertanyaanya lagi.

“Malam ini saya akan bermalam di bawah pohon ini. Anda ingin melajutkan perjalanan ke Barat?” Ostiens melanjutkan. Dari sini kota Cahaya terlihat sangat jelas dan semakin dekat.

“Ya, saya juga mau bermalam di sini. Melihat cahaya anggun itu” Jawab Pengembara  kaget. Tanpa menoleh pada Ostiens. Seperti tidak ingin memelingkan wajahnya dari cahaya yang dilihat.

Ostiens tersenyum sambil menggelar kain alas tidur di rumput bawah pohon itu dan meletakkan tas yang berisi pakaian ganti di pangkal pohon untuk bantal.

Sampai larut malam, Ostiens dan Pengembara  masih duduk mengahadap ke Timur membicarakan cahaya itu dan menceritakan pengalamanya selama diperjalan. Ostiens menceritakan kehidupan mewahnya. Kebiasaanya duduk di beranda rumahnya dan awal ketakjubanya pada cahaya indah itu. Saat Ostiens bercerita, Pengemabara mendengarkan dengan penuh semangat dan haru.

Dengan tatapan yang takjub ke arah Timur. Pengembara menceritakan awal keberangkatanya dan pengelamannya selama berada di Timur yang belum pernah dia temui selama hidup di barat.

“Saya suka berpetualang. Saya pergi ke timur sudah sangat lama. Sejak usiaku waktu itu masih dua puluh tahun. Tidak terasa sekarang usiaku sudah tiga puluh tahun.’ Pengembara menghela nafas panjang. Dia melanjutkan ceritanya “Awalnya saya mengira Timur sangat tidah menarik untuk di kunjungi. Dari beberapa orang yang saya bercerita tentang timur, hampir tidak ada yang menyanjung Timur. Mereka selalu menceritakan Timur daerah yang gersang. Tak ada sumber mata air. Timur seperti hamparan padang pasir yang tidak ada kehidupan. Katanya orang-orang yang sudah pergi ke timur sangat jarang kembali ke barat.


Dari cerita-cerita yang menciutkan nyali itu. Saya justru merasa tertantang pergi ke Timur. Ahirnya, saya memutuskan pergi ke Timur. Tidak ada yang harus kusesali dalam perjalananku. Saya tidak punya keluarga. Tidak punya apa-apa. Saya hanya kuli angkut di pasar. Menerima sedekah dari dermawan yang membantu. Saya tidak membawa bekal apa-apa. Hanya membawa pakaian yang melekat di badan.


Setelah sampai di Timur, ternyata apa yang saya dengar dari orang-orang itu sama sekali tidak benar. Entahlah. Seperti ada membuatku bertahan di Timur. Saya menemukan ketenangan batin yang tak pernah saya rasakan selama hidup di Barat.”

“Mengapa Anda tadi mengatakan Timur hanyalah daerah yang kering gersang dan sepi?’ Ostiens memotong certita Pengembara.
Pengemabra menoleh pada Ostiens “Saya hanya ingin menguji Anda?” Jawabnya dengan santai sambil tersenyum. “ Saya juga mendengar jawaban anda tentang Kota Cahaya. Saya kaget dan seperti cerita lucu. ” Pengembara melanjutkan.

Ostiens tidak berkomentar apa-apa. Dia hanya diam. Memandang wajah pengembara yang sudah mulai mengantuk.
“Sekarang kita tidur saja. Besok kita melanjutkan perjalanan. Perjalanan saya masih cukup jauh.” Ostiens merebahkan badannya dan berbantal tas yang berisi pakaian.

“Saya masih mau melihat cahaya itu. Mungkin besok saya sudah tidak punya kesempatan melihatnya lagi. Dalam perjalanan saya ke Barat, mungkin sangat jarang sekali menoleh ke Timur.  Silahkan Anda tidur lebih dulu.” Jawab Pengemabara yang menahan kantuknya meliha ke langit  Timur untuk memandangi cahaya yang mempesona.

***

Sinar matahari pagi membelai lembut wajah Ostiens yang masih tertidur. Kemudian dia erbangun dan langsung menghadap ke arah Timur. Memastikan Kota Cahaya masih ada. Meyakinkan diri dengan harapan yang baru menuju Kota Cahaya.
Pengemabara sudah terbangun lebih dahulu. Ostiens melihatnya dengan heran. Pengembara berdiri tenang di tanah lapang tak jauh dari pohon, menghadap ke Timur.

“Apa yang kau lakukan di sana?” Ostiens bertanya pada Pengembara. Pengembara sedikti tersentak denga pertanyaan Ostiens.
“Melihat cahaya itu. Saya mencoba melihat letak sebenarnya Kota Cahaya itu. Sepanjang perjalanan ke Barat. Kota-kota yang saya lalui tidak ada yang bercahaya seperti itu. Daerah yang sangat cerah seperti yang saya lihat sekarang” Pengembara menjawab dengan wajah  seperti merenung dan sedikit menyesal.

“Sekarang, tahukah anda letak Kota Cahaya itu?” Tanya Ostiens bersemngat, berharap Pengembara sudah mengetahui letaknya.
“Saya belum bisa memastikan. Tetapi perkiraan saya, Kota Cahaya itu dekat dari sini. Mungkin lima hari perjalanan lagi” Jawab Pengembara sambil melihat wajah bahagia Ostiens yang sudah berdiri di sampingnya.

“Saya sebenaranya ingin sekali kembali ke Timur  bersama Anda. Kita berangkat bersama menuju Kota cahaya itu. Tapi nanti saja saya pikirkan lagi” Pengembara mengutarakan keinginannya sambil memegang pundak Ostiens.

“Saya mau melanjutkan perjalanan ke Timur. Jika Anda memang ingin melajutkan perjalanan ke Barat. Semoga kita masih di beri kesempatan untuk bertemu lagi. Terima kasih perkenalannya. Saya akan mengingat perjumpaan ini. Selamat tingal ” Ostiens berpamitan pada Pengembara yang abru semalam mengenalnya.

“Ya, semoga perjalananmu menyenangkan. Mungkin cukup kusimpan saja cahaya itu dalam hati. Kelak jika kita bertemu lagi. Saya ingin mendengar cerita Anda tentang Kota Cahaya yang telah Anda kunjungi itu” Keduanya berpelukan perpisahan.

Ostiens berjalan menuju matahari yang baru saja terbit. Meninggalkan  Pengembara yang masih berdiri kaku melihat cahaya di langit cerah itu.

***

Setelah tiga hari perjalanan. Di sebuah desa yang sunyi. Desa yang sangat sederhana. Bangunannya tidak ada satu pun yang terlihat cukup mewah. Semuanya hamper sama. Beberapa orang yang kebetulan berpapasan denganya selalu menyunging senyum ramah.

Kemudian Ostien melepas lelah duduk di bawah sebuah pohon yang teduh. Sambil mengeluarkan roti yang baru saja dia beli di kota. Dia melihat ada seorang laki-laki tua yang sedang menuju ke arahnya.

“Saya minta rotinya sedikit, nak !” laki-laki tua itu meminta sebagian roti yang sedang Ostiens makan. Dia langsung memberikan roti yang ada di dalam tasnya.

“Terima kasih, nak ” laki-laki tua itu langsung memakan roti itu di depan Ostiens.

Ostiens melihat dengan iba wajah laki-laki tua yang sedang memakan roti seperti tidak peduli dengan sekitarnya dan Ostiens yang sedang memandangnya. Tubuh laki-laki tua itu sudah sangat renta. Kurus sekali. Baju yang dikenakan sudah banyak sobekan, nyaris tidak layak pakai.

Tetapi ada yang membuat Ostiens terperangah kaget melihat laki-laki tua itu. Wajahnya  terlihat bersih, seperti ada pancaran sinar dari hati yang suci. Sorot matanya menyiratkan keteduhan dan ketenangan. Pakainya meskipun sudah banyak sobekan sangat bersih. Kulitnya juga bersih. Seperti tida ada debu yang menempel di kulit dan pakainya.

Laki-laki tua itu tidak menghabiskan roti yang dimakanya. Laki-laki tua menyimpanya sisanya di dalam kain lusuh seperti sebuah tas yang disandangnya. Kemudia pergi meninggalkan Ostiens yang sedang duduk heran melihatnya.



Ostiens mengikuti laki-laki tua itu. Terik matahari yang menyengat tidak dia hiraukan. Di tikungan jalan desa yang sepi, Laki-laki tua itu tidak terlihat lagi. Ostiens segera menuju tikungan itu. Laki-laki tua itu tidak ada. Menghilang entah ke mana. Mungkinkah dia sembunyi? Tetapi di tepi sepanjang jalan tidak terlihat ada pohon yang bisa dijadikan tempat bersembunyi. Hanya ada rumah tua yang sudah rusak tak berpenghuni. Tidak mungkin dai sembunyi di rumah itu. Jaraknya dari tikungan agak jauh.

Mendadak suasana menjadi sunyi. Ostien segera berbalik badan dan meninggalkan tikungan itu. Pikirannya masih dipenuhi sosok laki-laki tua yang tiba-tiba menghilang di tikungan jalan desa. Ke manakah laki-laki tua itu? Pikiranyakacau kemarau dengan menghilangnya laki-laki tua itu.

Satu-satunya yang memembebaskan pikiran Ostiens tentang laki-laki tua itu adalah Kota Cahaya di arah timur yang menghilang. Dia kaget ketika melihat ke arah timur, Kota Cahaya yang selama ini menjadi tujuan ahirnya dalam perjalanan ke timur tiba-tiba menghilang begitu saja.

Tubuh Ostiens tiba-tiba lemah. Dia duduk bersimpuh di jalan desa sunyi. Perjalanan bahagia selama berbulan-bulan lamanya demi mengejar impian mengunjungi Kota Cahaya berubah mejadi tangis kesedihan.

Tiba-tiba ada suara yang tidak asing lamat terdengar dari belakang Ostiens. Tetapi tidak dia hiraukan.
“apa yang kaulakukan anak muda?” Suara laki-laki tua yang baru saja dia ikuti dan menghilang.

 Air matanya menetes hingga membasahi tanah. Membuat genangan air mata kecil di tanah. Ostiens menoleh ragu ke arah suara di belakangnya sambil berusaha menutupi kesedihannya.

Di terkejut melihat laki-laki tua itu berdiri di belakangnya dengan seorang gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun berpakaian serba hitam yang kumal di sampingnya.

Ostiens berusaha berdiri. Tetapi dia sangat lemah seperti kehilangan seluruh tenaganya. Laki-laki tua dan gadis kecil itu membantu Ostiens berdiri. Laki-laki tua itu memegang pundak dan tangan kananya. Gadis kecil itu memegang tangan kirinya. Dibawa ke rumah tua berjalan dengan tertatih-tatih.

“Biarkan dia tidur di sini dulu” kata laki-laki tua pada gadis kecil itu. Dengan segara gadis itu membersaihkan sebuah papan besar untuk dijadikan tampat tidur Ostiens yang sudah sangat lemah. Dengan hati-hati Ostiens direbahkan. Laki-laki tua itu mengambil kain sarung lusuh untuk selimut Ostiens.

“apakah dia akan baik-baik saja?” Tanya gadis kecil itu pada laki-laki tua.

“dia akan baik saja. Mungkin dia hanya kelelahan” Kata laki-laki tua “ ambilkan air minum”. Lanjutnya. Gadis kecil itu segera pergi mencari air di rumah tua yang kosong itu.

“Minum air ini ” laki-laki tua itu sambil mengangkat kepala Ostiens dan menaruh mangkok berisi air minum.

Saat sudah mulai bisa duduk, Ostiens diam saja. Tak ada suara keluar dari mulutnya, walaupun sebuah desahan. Tatapan matanya selalu kosong. Entah apa yang sedag ada dipikiranya. Kota cahaya yang hilangkah, kekecewaan atau penyesalankah? Tak ada yang bias menebak dari tatapan kosongnya.

Laki-laki tua dan gadis kecil itu duduk berhadapan dengan Ostiens. Mencoba memahami yang ada di hadapanya. Tetapi tatapan Ostiens kosong, sperti tak melihat kedua orang itu di hadapanya.

Hari sudah sudah senja dan gelap mulai merangkak perlahan. Laki-laki tua dan gadis kecil itu keluar meninggalkan Ostiens sendiri  di rumah tua. Tak lama kemudian mereka datang gadis kecil itu membawa sepotong roti.

“makan roti ini” kata gadis kecil itu sambil menjukurkan roti pada Ostiens. Tapi dia masih diam saja seperti tidak melihat ap-apa. Tidak melihat siap-siapa. Kemudian roti itu ditaruh di pangkuan Ostiens.

“Ayo, makan rotinya” lanjut gadis kecil itu sedikit memaksa. Ostiens masih saja diam seperti patung.

Malam sudah sangat gelap. Tidak ada lampu di rumah tua itu. Gadis kecil membuat api dengan tumpukan kayu di tengah-tengan mereka. Sekedar menjadi penerang dan penghangat mereka. Laki-laki tua hanya melihat Ostiens mencoba memahami yang sedang ada di hadapanya. Ostiens yang mematung selama berjam-jam tanpa makan minum dan tak banyak bergerak.

Malam sunyi di rumah tua yang kosong di desa sunyi. Malam pertama Ostiens menghabiskan malam duduk tak bersuara dan tak banyak bergerak. Kedua malaikat yang menolongnya sudah tertidur di depanya beralas kain lusuh yang selalu mereka bawa.

Ketika bintang zahrah merekah di langit timur. Laki-laki tua itu bangun dan langsung berlari keluar rumah.

“Bangun..!orang itu tidak ada” Laki-laki tua itu membangunkan gadis kecil yang tidur tak jauh darinya. Dan mereka segera berlari keluar rumah medapati Ostiens sedang berdiri di halaman rumah.

Ostiens melihat ke arah timur, mengharap cahaya yang hilang kembali lagi mempesonanya.


Tidak ada komentar: