Selasa, 08 Desember 2009

NING MAYA


Karya: Mawar
 

Aku berusaha melupakan semua tentangnya. Namun, setelah usaha itu nyaris sempurna, dia datang lagi dengan kesempurnaanya. Aku mencoba memahami yang sebenarnya kurasakan. Tapi aku lebih sering tak mampu dan gagal. Ahirnya aku dirundung gelisah.

Awalnya, aku berfikir itu hanya perasaan sesaat yang sewaktu-waktu bisa berubah dan akan menghilang. Karena terpesona kecantikanya atau karena alasan-alasan lain yang sudah biasa dirasakan semua orang.

Dulu, di masa lalu yang tak begitu lama. Sebelum mengenalnya aku sudah sering bertemu tanpa sengaja. Tapi tak ada sapaan basa-basi sekedar pengantar untuk perkenalan. Berlalu begitu saja.

Setelah pertemuan yang hanya menambah penasaran itu, tak  tersisa lagi selain penyesalan. “Mengapa aku tidak menyapanya sekedar sedikit basa-basi, menanyakan namanya, tempat tinggalnya atau apa sajalah?” Pikiran konyolku itu selalu datang dan berulang setiap pertemuan yang berlalu begitu saja.

Suatu ketika, aku dan seorang teman makan di warung angkringan yang tak jauh dari tempat tinggalku —sebuah kamar kost berukuran tiga kali empat. Perempuan itu datang dengan kedua temanya menghampiri teman yang bersamaku.

”Ki. Apa kabar ?” Kata salah seorang teman perempua itu pada Kiki temanku itu.

“ Kabarku baik. Ayo makan” Kiki menjawab dan menawarkan makan padanya.

 “Ya, terimakasih. Kita juga mau makan” Kali ini yang menjawab perempuan itu sambil membenarkan kursi, kemudian duduk tak begitu jauh di depanku. Sungguh aku tidak menyangka Kiki mengenal perempuan itu dan kedua temanya. “Ini peluang untuk menegenalnya”. Pikirku. Tetapi aku hanya diam saja, tak ada sepatah katapun terucap. Makanan yang ada dihadapanku menjadi alasanku untuk tidak bicara apa pun. Sebenarnya aku jaga ingin menyapanya, tapi tenggorokanku tiba-tiba terasa kaku. Suaraku seperti tertelan bersama makanan yang kumakan.

Perempuan itu, kedua temanya dan Kiki asyik mengobrol sambil menikmati makanannya. Dan aku, hanya gelisah dengan pikiranku sendiri, memikirkan banyak hal yang sebenarnya mengarah pada keinginan yang begitu kuat untuk mengenal perempuan cantik di hadapku.

Kiki ini, membiarkan aku begitu saja setelah ada teman ngobrol yang lain. Padahal dia bersamaku, tapi dia tidak mengajakku ikut seta dalam obrolan itu. Atau setidaknya memperkenalkan aku pada ketiga temanya. Aku menyelahkan Kiki karena tidak meperkenalkan aku pada temanya dan meyalahkan sikap bodohku, sampai tak terasa sudah cukup lama aku duduk diam di warung angkringan itu dan aku pun mengajak Kiki pulang. Pertemuanpun berlalu.

Pertemuan berbuah penyesalan di warung angkringan itu, hanya membuatku semakin gelisah. Memikirkan perempuan yang sebelumnya tanpa nama. Aku menyesal tidak berkenalan langsung, tapi dengan pertemua itu.

Aku sudah mendapat kebahagiaan sederhana. Aku tahu namanya waktu temanku memanggil namanya. Ning —itulah sepotong nama yang terukir dihatiku. Selanjutnya, mungkin jika  bertemu denganya lagi di mana saja, aku bisa memenggil namanya, Ning.

Ning. Itulah nama yang membuatkku sangat bahagia. Meskipun kebahagiaan yang sangat sederhana dan konyol.

Seminggu berlalu begitu cepat sejak pertama namanya terukir di hatiku. Selama seminggu, setip sore aku makan di warung angkringan itu, sendiri. Berharap bertemu lagi dengan Ning— dengan menyebut namanya setidaknya aku sudah tidak memikirkan perempuan tanpa nama.  Aku  bahagia meskipun hanya  sepotong nama yang tak lengkap.
Suatu ketika aku berangkat ke kampus. Aku bertemua Ning tak sengaja di jalan. Ning berdiri di bawah pohon beringin, seperti menunggu seseorang. Setelah langkahku semakin dekat dengannya, tiba-tiba aku gemetar dan suaruku terkunci di tenggorokan. Aku pun melaluinya dengan pikiran-pikiran konyol dan ahirya berbuah penyesalan.

“Siapa yang dia tunggu, pacarnya atau teman yang waktu itu” waktu menyebut kemungkinan pertama yang dia tunggu aku sedikit sedih dan tak bersemangat. Aku bahagia saat memikirkan kemungkinan kedua, seperti ada harapan untuk mengenalnya.

Dari jarak yang tak begitu jauh, aku duduk duduk dan memperhatikan dia dari balik dedaunan tanaman hias. Hanya untuk memastikan, siapa yang sebenarnya dia tunggu.
Dari kejauhan aku melihat seorang pria mengendarai sepeda motor “mungkin laki-laki itu yang dia tunggu” pikirku dengan kecut.  Tetapi laki-laki tidak berhenti dan melaluinya. Aku bersemangat lagi, setelah tahu bukan laki-laki pengendara sepeda motor itu yang dia tunggu.

Kemudian ada laki-laki lain yang berjalan kearahnya. Laki-laki itu semakin dekat. Dan hatiku semakin kecut. Dengan pikiran campur aduk, laki-laki itu berhenti dan menyapa Ning. Mereka kulihat mengobrol di bawah pohon beringin itu dengan akrab, entah apa yang mereka bicarakan. Aku semakin kecut dan menunduk sedih sampai tidak menyadari ada yang lewat tepat di depanku.

Lamat kudengar suara memanggil dari kejauhan “Ning, sudah lama nunggu ya, Maaf. Aku bengun kesiangan”. Suara itu membuatku langsung menoleh ke arah Ning di bawah pohon beringin. Aku seperti mendapat kebahagiaan baru. Ternyata bukan laki-laki itu yang dia tunggu. Ning menunggu temannya yang beberapa waktu lalu bertemu di warung angkringan. Kulihat ke arah yang lain, laki-laki yang baru saja mengobrol dengan Ning sudah jauh kemudian menghilang di tikungan.


Tidak terasa sudah cukup lama aku menyimpan rasa penasaran itu. Lebih dari satu tahun lamanya sejak aku tahu namanya. Selama itu juga aku selalu ketakutan, ragu dan menyesal setiap bertemu denganya. Berkali-kali bertemu tak sengaja dan memang kusengaja lewat depan rumah kontraknya yang tak jauh dari kostku. Aku hanya berani menatapnya dari kejauhan dan terus menoleh kearahnya setelah melaluinya.

Kesempatan berjabat tangan denganya pun datang tidak terduga. Setelah sekian lama kesempatan itu menggantung di langit harapan. Sore itu, di sebuah diskusi rutin organisasi mahasiswa aku di undang untuk sekedar berbagi pengalaman seputar di dunia sastra. Sebagai mahasiswa senior yang sudah dikenal sering mengkuti perkembangan dunia sastra.
Aku tidak tahu kalau dia akan mengikuti diskusi tersebut. Dia datang terlambat setelah kurang lebih tiga puluh menit diskusi dimulai dan langsung duduk dekat pintu masuk ruang diskusi. Mendadak jantungku memompa darah begitu cepat hingga keringat mengalir deras. Aku hentikan pembicaraanku sambil pura-pura berpikir. Kemudian untuk memecah kebisuan, kutarik nafas panjang dan membuka pembicaraan lain dengan menanyakan pada peserta tentang penjelasan singkatku tadi.

“ehmmm… Dari sedikit penjelasan tadi ada yang mau ditanyakan?” Suaraku sedikit gemetar. Pikiranku kacau. Hatiku bahagia karena dia ada dalam satu ruangan denganku. Dia duduk dekat pintu. Nyaris tidak kuperhatikan semua pertanyaan dari peserta diskusi. Moderator diskusi memintaku menjawab pertanyaan peserta, sambil menyentuh lututku. Saat itulah aku sadar tidak memperhatikan pertanyaan peserta dan sedikit ragu dengan yang ingin kubicarakan. Jadi, aku meminta moderator mengulang pertanyaanya.
Diskusipun berahir. Sebagian peserta keluar ruangan, sebagian lagi masih duduk di dalam mengajakku mengobrol santai. Ning masih di dalam ruangan. Dia menghampiriku. Menjulurkan tangannya yang untuk berjabat tangan. Jari-jari lentinya, kuku yang dibiarkan panjang sangat bersih.

“Ning Maya” dia menyebutkan nama lengkapnyanya. Kemudian duduk tak jauh tepat di depanku. Aku diam saja, tak menyebutkan namaku. Bukannya tidak merespon perkenalanya. Suaraku nyaris hilang termakan kebahagiaan. Bertahun-tahun yang kutahu hanya nama panggilanya.

“Ninga Maya asli mana?” tanyaku basa-basi untuk membuka pembicaraan lebih lama.

“Panggil saja Ning, aku asli dari Surabaya. Mas sendiri asli mana? Maaf. Tadi datang terlambat” Dia bicara dengan kelembutan dan senyum manis yang menusuk hatiku.

“ehmmm…dari mana ya, aku  dari kota paling timur Pulau Jawa, Kota Gandrung”. Aku menjawab dengan sedikti bercanda agar tidak terlalu tegang. Setelah lama duduk berhadapan dari jarak yang cukup dekat dan membicarakan banyak hal. Pertemuan pun berahir dengan bahagia dan aku tidak lupa menayakan tempat tinggalnya, serta meminta nomor telepon genggamnya.

Sore itu  menjadi penutup siang yang sangat indah. Tak ada kebahagian lain selain hari itu. Aku tak kuasa menahan kebahagiaan itu.
Itulah pertama kali aku berjabat tangan dengan Ning. Perempuan yang sangat kukagumi. Perempuan yang mengisi kekosonganku. Perempuan yang kucintai. Perempuan yang selalu menjadi pelita kebahagianku. Perempuan yang selalu memberikan semangat dan harapan baru setiap pagi. Perempuan yang ingin kuhormati sebagai perempuan yang mulia di hatiku. Aku selalu berharap ada jabat tangan pertemuan kedua.

Aku yakin segala sesuatu pasti ada sebab dan ada yang menyebabkan. Dulu aku sering berfiki ragu tentang “Apakah segala sesuatu harus ada sebab? Buakankah ada kejadian-kejadian yang tak terduga darang begitu saja tanpa sebab?” Sekarang aku sudah mulai mengerti. Segala sesuatu pasti ada sebabnya hanya saja kadang aku tidak menyadarinya.
Dan setiap detil peristiwa dalam hidupku hal sekecil apapun tidak sia-sia dan jangan disia-siakan, itu sangat berarti; dengan hal sederhana, sepele bahkan yang kupikir tak penting bisa membuat bahagia dan bisa juga sebaliknya.

Aku selalu mengharap jabat tangan yang kedua kalinya dengan Ning. Namun kali ini aku tidak akan menungu hal yang tak terduga lagi. Pagi harinya, berselang semalam dari perkenalan itu. Kukirimkan pesan singkat padanya melalu telepon genggamku.
“Selamat pagi. Pagi ini cerah sekali. Sayang sekali dilewatkan begitu saja. Bukankah pagi selalu menjadi awal yang baik untuk memulai harapan baru?”

Aku duduk di depan kost sambil membaca koran pagi, sambil menunggu  balasannya. Beberapa menit kemudian telepon genggamku berbunyi ada satu pesan masuk dari Ning.
“Selamat pagi juga. Ya, pagi ini cerah sekali. Sangat sayang sekali jika dilewatkan. Sedang apa mas ?” (Pengirim: Ning Maya. 05-04-09. 06: 15: 32)

Aku tersenyum bahagia membaca pesannya dan langsung kubalas.

“Sekarang sedang membaca koran pagi. Kamu sendiri sedang apa? Apa aktivitas hari ini ?”

Koran pagi yang kubaca tidak lagi membuatku tertarik. Aku duduk diam membaca ulang pesan singkatnya yang baru saja dikirimkan sambil menunggu balasan berikutnya. Lama sekali balasan darinya. Semangatku pun datang lagi setelah kubaca balasanya berulang-ulang.

“Sedang baca koran pagi juga, sambil minum teh hangat. Suka teh mas? Hari ini di rumah  saja tidak ada jadwal kuliah”  (Pengirim: Ning Maya. 05-04-09. 06: 17: 50)
Dengan girang aku segera membalas pesannya.

“Aku lebih suka teh buatanmu. Aku mau ke tempatmu. Mugkin sekitar pukul sepuluh. Boleh ?”
Kali ini lebih lama lagi dia membalasnya. Entahlah, apakah kerena aku terlalu berharap, hingga waktu seperti berjalan sangat lambat. Aku sudah mulai ragu akan jawaban yang akan kuterima dan sedikit pesimis. Ahirnya dia membalas.

“Boleh. Kubuatkan teh ya, Mas”  (Pengirim: Ning Maya. 05-04-09. 06: 21: 01)

Dengan senyum bahagia yang tak bisa kutampung kubalas pesannya.
“Terima kasih ya”

Matahari pagi itu begitu hangat, aku nyaris tidak percaya dengan baru saja kulakukan dan membuatku begitu bersemangat dan sangat bahagia. Tetapi  pagi seperti melambat. Nyaris diam. Pukul sepuluh seperti masih sepuluh hari lagi.

Aku berangkat menuju rumahnya dengan hati yang kebahagiannya tak tertandingi siapapun. Setelah hampir sampai di rumahnya. Aku mulai gelisah. Gemetar. Keringat dingin sedikit membasahi wajahku. Aku menarik nafas panjang. Setelah sampai di rumahnya dia sudah menunggu di beranda rumahnya.

Aku menjulurkan tangan untuk berjabat tangan. Dia menerima sambil menyungging senyum manis terbaiknya. Di meja sudah di sediakan teh dan makanan ringan. Mungkin untuk menghormati tamu, agar merasa betah atau sekedar menepati janji pagi tadi. Entahlah.

Setelah membuka obrolan ringan dan dengan sedikti canda tawa aku sudah tidak merasa gelisah. Aku teringat masa lalu yang kuhabiskan dengan kegelisahan dan selalu menunggu pertemuan yang tak terduga. Aku mulai memberaniakan diri untuk menceritakannya pada Ning. Aku mencari celah pembicaraan yang tepat untuk menceritakanya.

“Ning. Sepertinya aku sudah sering bertemu kamu sebelumnya.Wajahmu sudah tidak terlalu asing buatku. Kenapa tidak dari dulu saja kita berkenalan. Mengapa baru sekarang?” Suaraku sedikit terbata-bata mengakui ke konyolan dengan pengakuan konyol. Ning melihat dengan tatapan penasaran seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

Setalah aku selesai bicara. Ning masih diam tidak ada komentar. Beranda yang semula terdengar pembicaraan dan canda tawa mendadak menjadi sepi. Aku seperti orang asing yang yang bersembunyi di balik pagar sedang mendengar pembicaraan tamu asing di beranda rumahnya.

“Mungkin dia masih berusaha mengingat peretemuan-pertemuan denganku sebelumnya atau mungkin diamemang tidak pernah merasa bertemu denganku”  pikiranku mulai gelisah, jantungku semakin berdenyut kencang.

“ehmm…sepertinya kita memang sudah sering bertemu. Mas juga tdak terlalu asing. Mungkin bukan waktunya kenalan ya, Mas” dia sambil melihatku, seperti sedang meneliti apakah benar akulah orang yang sering bertemu dengannya. Aku lega mendengarnya.

“Mungkin” Jawabku singkat. Dan aku melanjutkan dengan nada serius.

“Tapi bukankah pertemuan-pertemuan kita itu sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Sebenarnya dari dulu. Setiap aku betemu denganmu ada keinginan menyapamu dan berkenalan. Mungkin karena aku terlalu bodoh dalam persoalan seperti itu, jadi yang ada ahirnya hanya kegelisahan dan penyesalan.”  Ning diam saja. Kali aku tidak bisa menduga-duga tentang yang dipikirkannya.

Tidak terasa lebih dua jam aku duduk di beranda depan rumah kontrakanya. Begitu cepat. Seperti baru lima menit aku duduk bersamanya. Aku memutuskan untuk segera menyudahi pertemuan siang itu. Meskipun masih terlalu berat jauh dari Ning.

“Ning. Aku mau pulang ya, sebelum diusir dari sini” pintaku sambil bercanda. Ning menyambutnya dengan senyum yang tak bisa kulupakan.

“Ah. Apa sih, Mas. Aku tidak akan ngusir kok.” Suaranya seperti memanja.

“Ah. bercanda saja. Aku mau pulang ya” aku berdiri dari kursi . Tapi Ning mencegahku.

“Jangan pulang dulu, Mas. Kalau pulang tidak boleh  kesini lagi” Ning memintaku dengan suara yang tak sanggup kutolak sambil memegang pergelangan tangan kananku. Memintaku duduk kembali.

“ehmm…masih ada yang mau Ning bicarakan sama, Mas. Penting. Aku mau meminta sesuatu sama Mas. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Aku ingin sekali punya Kakak, setidaknya ada seseorang yang bisa kupanggil kakak, meskipun bukan kakak kandung. Mas mau menjadi kakaknya Ning?. Aku sangat berharap, Mas menerimanya” lanjutnya “
Aku tidak mau seperti sebelumnya. Dulu ada seseorang yang sudah kuanggap kakak. Ternyata dia ingin menjadikanku kekasihnya. Aku tidak mau, seperti itu” Matanya seperti menerawang mengenang masa  lalu.

Aku terdiam tak sanggup bersuara. Aku menghela nafas panjang. Tangan kanannya masih memegang erat pergelangan tanganku. Aku tak sanggup lagi bergerak. Jantung brdetak kencang seperti ingin keluar dari dada. Tubuhku seperti tertindih batu yang cukup besar, hingga remuk.

“Semoga saja aku bisa menjadi kakak yang kau harapkan” Aku melanjutkan “Aku tidak mempunyai adik. Aku anak terahir dari tiga bersaudara. Aku belum pernah memanggil adik pada siapapun. Entah karena umurnya lebih muda dariku. Atau karena tingkatanya di sekolah  atau di kampus berada di bawahku. Baiklah. Aku terima permintaanmu, tapi aku tidak mau memanggilmu adik. Aku memanggilmu Ning saja” berat sekali kuterima permintaanya. Hatiku seperti memberontak tidak menerima permintaanya. Karena bukan seperti itu yang kuharapkan sejak pertama aku mengenalnya setahun yang lalu.

Tangan kanannya yang semula memegang pergelangan tanganku perlahan dilepaskan. Saat bener-benar lepas dari tanganya. Aku segera menjulurkan tanganku lagi untuk berjabat tangan perpisahan.

“Aku harus pulang. Sudah siang. Terima kasih telah menerimaku bertandang di berandamu yang cukup nyaman ini. Terima kasih untuk  sambutanmu dan semuanya.” Tanganku gemetar saat berjabat tangan denganya.

Aku pulang dengan perasaan campur aduk dan tercabik. Bahagia dan sedih berbenturan tak karuan. Kepedihan merontokkkan semangatku. Tubuhku terasa lemah.
Ada kata yang tak terungakap dari singkatnya pertemuannya; aku terpaksa telah berbohong di hari pertama aku bertandang ke rumahnya. Di hari pertama aku mencoba mengenalnya lebih jauh.

Ini bukan awal yang baik untuk memulai hal baik. “Aku masih belum bisa menerima permintaanmu, Ning.” Hatiku terus menggerutu. Mengutuk kebodohanku sendiri.
 Entahlah…
                       
       
                                                              Yogyakarta, Ahir 2009
   

4 komentar:

Hilal Alifi mengatakan...

ehm, pengalamanmu sungguh menyedihkan, sobat. . .

banyuarum mengatakan...

Tidak ada yang lebih menyedihkan dari semua yang ada di bumi ini, selain manusia dengan segala cerita cintanya. aku hanya menulis yang seharusnya kutulis dari semua cerita cintamu yang menyedihkan.

aciv mengatakan...

whiiiiyyy realisme romantis-tragis. hehehe.. pisss

banyuarum mengatakan...

@Aciv: wah....komentarmu seperti sebuah belati tajam yang kau tikam ke dadaku. untung sajaa aku sudah beli baju baja di klitian.hehehehe