Selasa, 26 Agustus 2025

Catatan tentang Pendidikan

 

Latihan: seorang siswi SD latihan baca puisi dj Yayasan Kertas Budaya Indonesia, Kabupaten Jembrana, Bali









Tentang dunia pendidikan saat ini menghadapi tantangan yang semakin komplek. Perkembangan teknologi modern semestinya menjadi sarana pendukung untuk meningkatkan kualitas pendidikan, justru kerap menghadirkan persoalan baru. Tetapi di sisi lain bisa menjadi hambatan meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan. Kecenderungan saat ini pelajar lebih fokus pada gawai dibandingkan pada kegiatan pengembangan diri.
Salah satu indikasinya adalah minimnya minat pelajar dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. misalnya mengikuti kegiatan sastra, contohnya baca puisi. Kegiatan seperti membaca puisi, yang dulu menjadi salah satu ruang berekspresi sekaligus meningkatkan literasi, kini mulai ditinggalkan.
Padahal, kegiatan baca puisi tidak hanya melatih keberanian tampil di depan umum, tetapi juga membentuk kepekaan berbahasa, menumbuhkan daya imajinasi, dan memperkaya kemampuan literasi siswa.
Fenomena ini menjadi catatan penting bagi dunia pendidikan. Diperlukan strategi baru agar pemanfaatan teknologi modern tidak justru menjauhkan siswa dari kegiatan pengembangan karakter dan literasi. Sebaliknya, teknologi harus diintegrasikan untuk mendorong minat siswa, termasuk dalam menghidupkan kembali kegiatan sastra di sekolah.
Pendidikan bukan hanya soal angka dalam rapor, tetapi juga bagaimana mencetak generasi yang berwawasan luas, berkarakter, serta memiliki kepekaan literasi di tengah derasnya arus digitalisasi.

Selasa, 03 Desember 2024

Dibalik Tumbangnya Petahana Jembrana

 Analisa Ngawur Politik Jembrana 


Pemilihan kepala daerah (Pilkada) selalu menjadi ajang kontestasi politik yang tidak hanya mengukur popularitas kandidat, tetapi juga kemampuan mereka membangun strategi kampanye yang efektif. Kekalahan pasangan petahana I Nengah Tamba - I Made Suardana (Tamba-Dana) dari pasangan I Made Kembang Hartawan - I Gede Ngurah Patriana Krisna (Bang Ipat) dalam Pilkada Jembrana mencerminkan dinamika politik lokal yang kompleks. Faktor-faktor strategis, personal, dan organisasi menjadi penentu utama dalam hasil kontestasi ini.


1. Kelemahan Strategi dan Organisasi Tamba-Dana


Sebagai petahana, Tamba-Dana seharusnya memiliki keunggulan dari segi pengenalan publik dan pengalaman pemerintahan. Namun, keunggulan ini tidak cukup untuk menghadapi tantangan dari lawan politik yang lebih terorganisir. Tim pemenangan Tamba-Dana dinilai tidak solid dan kurang matang dalam merancang serta mengeksekusi strategi kampanye.

Kampanye pasangan ini juga terlalu berfokus pada figur I Nengah Tamba, sehingga kurang melibatkan aktor-aktor lokal lainnya yang dapat memperkuat daya tarik mereka di berbagai segmen masyarakat. Selain itu, pendekatan negatif campaign terhadap lawan, terutama tokoh-tokoh yang dihormati seperti I Gede Winasa dan I Made Kembang Hartawan, menjadi bumerang yang merugikan pasangan ini. Pemilih yang merasa dekat secara emosional dengan Winasa, mantan bupati Jembrana yang dinilai sukses, justru semakin mendukung Bang Ipat.

Kampanye Tamba-Dana menghadapi kelemahan fundamental, yaitu tim pemenangan yang tidak terorganisir dengan baik dan kurang matang. Fokus pada satu tokoh sentral, yaitu I Nengah Tamba, mempersempit daya jangkau pasangan ini. Strategi ini membuat pasangan Tamba-Dana gagal membangun jejaring dukungan yang lebih luas dan kohesif.

Kesalahan lain adalah seringnya blunder dalam strategi komunikasi, termasuk kampanye negatif terhadap lawan. Kampanye semacam ini cenderung kontraproduktif, terutama jika menyerang figur yang dihormati publik, seperti I Gede Winasa dan I Made Kembang Hartawan. Akibatnya, alih-alih melemahkan lawan, strategi ini justru memperkuat simpati pemilih kepada pasangan Bang Ipat.

Sekarang, Tim pemenangan Tamba - Dana jangan saling menyalahkan sesama tim, mencari kelemahan dan keunggulan lawan. Lebih baik introspeksi diri.


2. Keunggulan Strategis Bang Ipat


Pasangan Bang Ipat berhasil memanfaatkan kelemahan lawan dengan menawarkan kekuatan tim yang terorganisir dan sinergis. Kehadiran tiga tokoh sentral, yaitu I Gede Winasa, I Made Kembang Hartawan, dan I Gede Ngurah Patriana Krisna, menjadi faktor kunci keberhasilan.

I Gede Winasa, dengan reputasi sebagai bupati Jembrana selama dua periode, memiliki pengaruh besar dalam memengaruhi persepsi pemilih. Winasa dipandang sebagai simbol keberhasilan pembangunan daerah, yang membuatnya tetap dihormati meskipun tidak lagi menjabat. Sinergi antara Winasa, Kembang Hartawan, dan Patriana Krisna menciptakan tim yang mampu menarik simpati publik secara luas.

Pasangan Bang Ipat menunjukkan organisasi tim pemenangan yang jauh lebih solid. Kehadiran tiga tokoh sentral, yakni I Gede Winasa, I Made Kembang Hartawan, dan I Gede Ngurah Patriana Krisna, memberikan pengaruh besar terhadap keputusan pemilih. Kombinasi ini menciptakan sinergi yang efektif, baik dari sisi strategi maupun eksekusi di lapangan.

Dukungan partai politik juga menjadi faktor signifikan dalam kemenangan Bang Ipat. Dengan dukungan dari PDIP, PKB, dan PPP, pasangan ini memiliki akses ke basis pemilih yang kuat dan terstruktur. Mayoritas basis pemilih ideologis dan tradisional. Koalisi ini memungkinkan Bang Ipat menjangkau berbagai lapisan masyarakat dan membangun momentum politik yang solid.

Dukungan dari PDIP dan dua partai hijau (PKB dan PPP) memperkuat posisi Bang Ipat. Basis dukungan partai ini memungkinkan pasangan Bang Ipat menjangkau berbagai lapisan masyarakat, termasuk konstituen tradisional yang loyal pada partai-partai tersebut.


3. Pelajaran dari Kekalahan Tamba-Dana


Kekalahan Tamba-Dana memberikan beberapa pelajaran penting dalam kontestasi politik lokal. Pertama, status petahana tidak menjamin kemenangan tanpa didukung oleh strategi kampanye yang efektif dan tim yang solid. Kedua, kampanye negatif terhadap tokoh yang dihormati publik cenderung kontraproduktif dan dapat merusak citra kandidat.

Sebaliknya, Bang Ipat menunjukkan bahwa keberhasilan politik lokal memerlukan sinergi tokoh yang kuat, tim yang terorganisir, dan dukungan partai yang solid. Dengan memanfaatkan elemen-elemen ini, pasangan Bang Ipat mampu mengalahkan petahana meskipun menghadapi berbagai tantangan.


Kekalahan Tamba-Dana menegaskan beberapa pelajaran penting:

- Pentingnya Koalisi Tokoh Lokal: Pemilih di daerah sering kali lebih mempercayai tokoh-tokoh yang memiliki rekam jejak jelas.

- Profesionalisme Tim Pemenangan: Kampanye membutuhkan strategi yang terorganisir, matang, dan berbasis data, bukan sekadar mengandalkan popularitas petahana.

- Hindari Kampanye Negatif: Negatif campaign terhadap figur yang dihormati hanya akan menciptakan sentimen balik dari pemilih


Kesimpulan


Hasil Pilkada Jembrana mencerminkan pentingnya strategi politik yang terencana, tim yang solid, dan pengelolaan citra publik yang positif. Kekalahan Tamba-Dana bukan hanya kegagalan individual, tetapi juga kegagalan kolektif dalam memahami dinamika politik lokal. Sebaliknya, kemenangan Bang Ipat adalah bukti bahwa keberhasilan dalam kontestasi politik membutuhkan kombinasi antara kepemimpinan yang kuat, organisasi yang efektif, dan pendekatan yang mampu memenangkan hati masyarakat. Pilkada ini menjadi pelajaran penting bagi aktor politik di masa mendatang tentang bagaimana membangun kekuatan politik yang berkelanjutan.

Kekalahan Tamba-Dana adalah hasil dari kelemahan internal dan kegagalan memahami dinamika politik lokal. Sebaliknya, Bang Ipat memanfaatkan sinergi tokoh, soliditas tim, dan dukungan partai untuk menciptakan kampanye yang efektif. Pilkada Jembrana menunjukkan bahwa keberhasilan politik memerlukan kombinasi antara strategi terencana, figur kuat, dan pendekatan yang mampu menarik simpati pemilih secara emosional dan rasional.

Kekalahan pasangan Tamba-Dana memberikan pelajaran penting tentang pentingnya organisasi, strategi kampanye yang positif, dan kemampuan untuk membangun sinergi dengan berbagai pihak. Di sisi lain, kemenangan Bang Ipat menunjukkan bahwa politik lokal sangat dipengaruhi oleh kehadiran figur yang memiliki rekam jejak baik dan dukungan organisasi yang solid. Pilkada Jembrana kali ini menjadi contoh nyata bahwa kemenangan politik adalah hasil dari kombinasi antara kepercayaan publik dan kekuatan tim.

Kekalahan pasangan Tamba-Dana bukan hanya karena faktor individu, tetapi juga lemahnya strategi kampanye secara keseluruhan. Sebaliknya, Bang Ipat berhasil memanfaatkan kombinasi kekuatan tim, strategi yang terorganisir, dan dukungan politik yang luas. Kampanye yang mampu menarik simpati masyarakat melalui penguatan citra tokoh yang dihormati, seperti I Gede Winasa, terlepas dari kasus korupsi yang sudah dijalaninya, menjadi kunci keberhasilan pasangan Bang Ipat pada Pilkada Jembrana 2024 ini.


Sekian, Salam Damai




Analisa Ngawur Pengamat Abal-abal




Selasa, 26 November 2024

Ada Anggota Dewan Gelandangan di Senayan. Ada ya ?

 




Suatu ketika, ada seorang teman menelpon dan menyampaikan bahwa G meksipun sudah dilantik sebagai anggota dewan, tetapi tidak punya kursi. Jangankan ruang kerja, kursi saja tidak punya.

”Apa bener Q? Serius?” Tanyaku pada penelpon yang dipanggil Q, panggilan teman yang dikenal sebagai play boy bermodal es teh untuk merayu mahasiswi cantik saat kuliah di salah satu kampus di Yogya.

Saya langsung percaya penuh ceritanya. Karena pernah membaca berita tentangnya, anggota dewan berinisial G itu. Nyaris batal dilantik karena diberhentikan.

Lantas, setelah mendengar cerita itu. Saya membayangkan, G yang dulu saya kenal itu dengan bangga dan bahagia dilantik sebagai anggota dewan 1 Oktober lalu. 

Saya bayangkan pada saat pelantikan senyum bahagia saat disapa diberikan ucapan selamat oleh keluarga, kerabat dan sahabat. Tapi sebenarnya mungkin hatinya getir.

Tapi sebenarnya kebanggaan dan kebahagiaan itu sebenarnya semu. Pelipur lara.

Ternyata drama sebelum hinga pelantikan itu, hanya awal dari getirnya seorang anggota dewan yang terhormat. Wakil rakyat yang dipilih rakyat langsung. Karena selanjutnya, G justru mungkin tersiksa dengan status sebagai anggota dewan yang terhormat. Bukan lagi sebuah kebanggaan, tetapi membuat hatinya teriris.



Karena kabarnya, kata teman yang sering bolak balik ke senayan ini, menyampaikan bahwa G memang dilantik sebagai anggota dewan, anggota fraksi partai bumi hijau tetapi kabarnya tidak diakui, tidak punya kursi di fraksi (semoga kabar ini tidak benar). Bahkan tidak menjadi anggota komisi apapun di Senayan, sehingga tidak punya kursi di komisi. 

Lalu, saya mencoba melihat di website dewan. Mamang nama G ada, tetapi di kolom komisi hanya ditulis (-) tanda hubung atau tanda minus. Entahlah. 

Padahal komisi di dewan, merupakan alat kelengkapan dewan yang penting. Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-undang. (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Karena hanya menjadi angota dewan, tidak menjadi anggota komisi, bahkan menjadi anggota fraksi yang tidak diakui, saya membayangkan bahwa G menjadi anggota dewan seperti gelandangan. Sebutan anggota dewan yang terhormat hanya plakat yang justru tidak terhormat di mata dewan lain. Atau mungkin dimusuhi, karena dianggap musuh bersama meksipun oleh angkat dewan satu partai.

Tapi semoga di sekelilingnya bukanlah anggota dewan penjilat pada tuan besar yang punya kuasa atau anggota dewan  yanga hanya ingin menyelamatkan diri, mempertahankan posisi. Karena sudah terlanjur berada di zona nyaman, teman sebenarnya lawan.

Meskipun mungkin ada sesama anggota dewan yang karena kenal baik secara pribadi, karena pernah jadi senior-junior, atau seperjuangan saat mahasiswa. Entahlah...

Apa yang dialami G, penyebabnya sudah diketahui banyak orang. Bahkan menggegerkan republik ini. 

Pria yang akrab disapa G itu diberhentikan sebagai anggota partai sebelum pelantikan. Sehingga otomatis namanya dicoret, tidak bisa dilantik dan namanya diganti dengan calon lain yang memperoleh suara di bawah G. Akan tetapi, G melawan dan akhirnya menangkan gugatan.

Keputusan penyelenggara sebelumnya yang sudah menetapkan pengganti G untuk dilantik, digugurkan penyelanggara pengawas. Nama G muncul lagi dalam surat keputusan sebagai anggota dewan terpilih yang memperoleh suara puluhan ribu, sekitar 80 ribu di dari daerah pemilihan dua Kabupaten di Jawa Timur.

Tetapi akhirnya, setelah tari ulur itu, ternyata G tetap tidak diakui sebagai anggota dewan dari Fraksi hijau itu. Nasibnya juga sam dengan GI, persis sama. 

Entahlah, akrobat apa apa yang dipertontonkan elit politik itu. Meksipun saya mengenal G, bukan bermaksud membela. Tapi berilah kepastian. Karena pemilihnya, rakyat yang diwakilinya tentu membutuhkan kepastian.


Semoga cerita teman tentang G itu tidak benar. Dan tulisan ini hanya hayalan saya saja. 

Salam damai sahabat.



Selasa, 17 September 2024

Tarik Ukur Rekomendasi Kandidat Kepala Daerah

 




Penulis : MB 


Jelang pendaftaran bakal calon kepala daerah yang sudah dijadwalkan KPU serentak 27-29 Agustus. Partai politik secara bertahap sudah mengeluarkan rekomendasi kepada bakal calon kepala daerah yang akan berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 27 November mendatang.

Apakah rekomendasi dari partai politik untuk pasangan calon gubernur atau pasangan calon bupati itu gratis ? Tidak asa kompensasi kepada partai politik? Pertanyaan ini yang sering dilontarkan masyarakat awam selama bertahun tahun setiap jelang Pilkada.

Meksipun partai politik ramai-ramai mengatakan bahwa tidak ada mahar politik, tetapi kecurigaan adanya mahar politik tidak bisa dibendung: Pasti ada kompensasi ekonomi atau politik dari kandidat kepada partai politik. Bukan menuduh, tetapi itulah pandangan dan kecurigaan yang muncul.

Keluarnya rekomendasi dari partai politik secara bertahap, menguatkan kecurigaan itu. Masih ada tarik ukur oleh partai politik terhadap kandidat. Tarik ukur kemampuan kandidat dalam mendapat rekomendasi, mulai dari ukuran kedekatan dengan partai politik secara ideologi dan kedekatan personal kandidat dengan pengurus partai politik. 

Atau mungkin tarik ukur kemampuan finansial kandidat. Bakal calon yang tidak mempunyai kemampuan finansial yang kuat, kemungkinan tidak mendapat rekomendasi. Dugaan setoran kandidat kepada partai politik untuk mendapat rekomendasi, menjadi hal yang tabu dan sulit dibuktikan. 

Tarik ukur kemampuan finansial ini bukan hanya untuk mendapat rekomendasi, tetapi hingga pemilihan. Karena pemilihan butuh modal, paling tidak untuk biaya kampanye dan saksi pada saat pemilihan.

 Apakah biaya itu bisa dibebankan kepada partai politik atau gabungan partai politik yang mengusung? Bisa saja hal itu terjadi, tetapi faktanya dari pemilihan-pemilihan berasal dari kandidat. Bisa dilihat dari setoran dana kampanye setiap usai pemilihan.

Dengan sistem pilkada saat ini, pertimbangan ideologi partai politik maupun program visi dan misi kandidat bukan prioritas utama. Kepentingan politik tidak hanya berorientasi kepada politik an sich. Kepada sistem politik keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara yang sejahtera.

Seperti yang ditulis Guru Besar Universitas Padjadjaran Bandung Prof. Dr. H. Asep Kartiwa, Drs., S.H., M.S, dalam pengantar buku sistem politik I Indonesia, karya Dr. Sahya Anggara, M.Si. (2013). Disebut dalam bahwa sistem politik merupakan urat nadi dalam berbangsa. Partai politik menjadi saluran darah bagi keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara yang sehat dan sejahtera.

Kemudian fungsi sistem politik yang sehat dan sejahtera tertumpu pada harapan yang besar dari bangsa dan negara untuk mengartikulasi “aliran darah” bagi tumbuh dan berkembangnya berbagai aspek kehidupan negara. Mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan hankam.

Tumbuh dan berkembangnya aspek-aspek tersebut ditujukan untuk memberi nilai tambah bagi masukan sistem politik dalam mengisi dan membangun infrastruktur dan suprastruktur politik yang merupakan prasyarat dan syarat bagi terwujudnya tujuan nasional negara Indonesia.

Dengan sistem politik yang sarat dengan kepentingan yang jauh dari sistem politik an sich, justru akan menjauhkan diri dari cita -cita partai politik yang semua bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. Sebaliknya, hanya untuk kepentingan politik golongan dan oknum tertentu.


Mahar Politik, Suburkan Korupsi 


Mahar politik sama dengan membangun dan mempertahankan budaya korupsi. Mahar politik merujuk pada biaya yang harus dibayar oleh calon legislatif untuk memperoleh dukungan dari partai politik atau kelompok tertentu dalam pemilihan. 

Bahwa mahar politik sering kali menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi integritas dan kualitas politik di Indonesia. Kandidat yang membayar mahar politik cenderung merasa berutang budi kepada partai atau kelompok pendukungnya, yang pada gilirannya dapat menyebabkan perilaku koruptif atau pengambilan keputusan yang tidak berpihak pada kepentingan publik. 

Karena setiap kandidat yang mengeluarkan dana untuk pemilihan, bukan tidak mungkin ketika menang akan memikirkan cara agar kembali modal awal untuk maju. 

Fenomena ini apabila terjadi akan mempengaruhi transparansi dan akuntabilitas dalam proses politik, di mana dana besar yang digunakan untuk mahar politik bisa menjadi sumber praktik korupsi yang lebih luas dan merusak sistem demokrasi.



* Pemerhati politik 

tinggal di Jembrana, Bali.


Mengakhiri Siklus Buruk Pilkada dan Politik Uang

 Penulis : MB



 









Politik uang hampir terjadi setiap pemilihan umum (pemilu), tetapi sulit dibuktikan. Bahkan, ada yang menyebut seperti buang angin, hanya ada bau tanpa terlihat wujudnya. Isu politik uang semakin kuat pada saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) sering kali diwarnai praktik politik uang yang merusak esensi demokrasi.

Kandidat yang mengandalkan kekuatan uang untuk meraih suara cenderung lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada kepentingan rakyat. Karena sejatinya Pilkada yang sejatinya menjadi ajang demokrasi sejati, kerap kali berubah menjadi medan perebutan kekuasaan instan bagi politisi berduit. Dengan politik uang, para kandidat berusaha mempengaruhi pemilih, sebuah strategi yang dianggap lebih efektif untuk meraih kemenangan. Praktik ini merusak integritas Pilkada.

Politik uang dalam Pilkada memperlihatkan bagaimana uang menjadi faktor penentu, menggeser ideologi dan program kerja. Pada akhirnya, kandidat yang terpilih dengan cara ini sering kali terjebak dalam lingkaran korupsi, karena harus mengembalikan “investasi” yang dikeluarkan selama kampanye. Hal ini menciptakan siklus kekuasaan yang korup, di mana kepentingan rakyat dikesampingkan demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Ketika uang menjadi alat untuk memenangkan kekuasaan, maka moralitas dan integritas terabaikan. Rakyat perlu disadarkan akan bahaya ini; suara yang diperjualbelikan hanya akan memperpanjang siklus kekuasaan yang korup.

Reformasi politik dan penegakan hukum yang tegas adalah kunci untuk memutus rantai buruk ini dan mewujudkan Pilkada yang bersih dan adil. Reformasi politik yang komprehensif dan penegakan hukum yang konsisten sangat penting untuk menghentikan praktik-praktik yang merusak dalam Pilkada, seperti politik uang dan korupsi.

Dengan memperbaiki sistem politik dan menerapkan hukum tanpa pandang bulu, dapat menciptakan proses pemilihan yang transparan dan adil, di mana kandidat terpilih benar-benar mewakili kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dengan cara ini, Pilkada bisa berjalan sesuai dengan prinsip demokrasi yang sebenarnya.

Pilkada sejatinya merupakan salah satu pilar utama demokrasi di Indonesia. Sebagai sarana untuk memilih pemimpin di tingkat lokal, Pilkada memainkan peran penting dalam memastikan bahwa suara rakyat benar-benar didengar dan diwakili.

Namun, meskipun Pilkada dirancang untuk mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi, realitas di lapangan sering kali menunjukkan hal yang berbeda. Politik uang, manipulasi kekuasaan, dan kepentingan kelompok tertentu sering kali mencemari proses ini, menjauhkan Pilkada dari esensinya sebagai mekanisme demokrasi yang murni.

Agar Pilkada dapat berjalan sesuai dengan prinsip demokrasi yang sebenarnya, diperlukan beberapa langkah krusial yang harus diambil oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah, partai politik, dan pemilih itu sendiri. Pertama dan yang paling mendasar adalah menegakkan integritas proses pemilihan. Ini mencakup segala hal mulai dari pencalonan kandidat hingga perhitungan suara akhir.

Setiap tahap harus dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas penuh. Dalam hal ini, peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara sangat vital. KPU harus memastikan bahwa aturan main ditegakkan tanpa kompromi, dan segala bentuk kecurangan ditindak secara tegas.

Selain itu, partai politik sebagai pengusung kandidat juga memegang tanggung jawab besar. Mereka harus memilih kandidat berdasarkan kemampuan dan integritas, bukan semata-mata karena popularitas atau kemampuan finansialnya. Dalam banyak kasus, kandidat yang diusung oleh partai adalah mereka yang memiliki modal besar untuk kampanye, sering kali dengan harapan dapat "membeli" suara rakyat. Fenomena ini tidak hanya merusak demokrasi, tetapi juga menciptakan pemimpin yang tidak kompeten dan tidak bertanggung jawab.

Menyoroti pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat. Demokrasi yang sejati hanya bisa terwujud jika rakyat sebagai pemilih memiliki kesadaran politik yang tinggi. Mereka harus memahami pentingnya memilih berdasarkan visi dan misi yang ditawarkan kandidat, bukan karena janji-janji material atau iming-iming sesaat. Pendidikan politik bisa dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari kampanye yang edukatif, diskusi publik, hingga program-program literasi politik yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan organisasi masyarakat.

Tidak kalah penting reformasi dalam penegakan hukum. Sistem hukum yang kuat dan tidak pandang bulu, kunci untuk memastikan pelanggaran dalam Pilkada, seperti politik uang atau manipulasi hasil pemilihan, dapat dihukum dengan adil. 

Hukum harus berdiri di atas semua pihak, tanpa pengaruh dari kekuasaan politik atau tekanan kelompok tertentu. Ini berarti aparat penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan, harus bekerja secara independen dan profesional.

Pada akhirnya, Pilkada yang sesuai dengan prinsip demokrasi yang sebenarnya hanya bisa tercapai jika semua pihak berkomitmen untuk menjaga kejujuran, keadilan, dan transparansi dalam prosesnya. Tantangan besar, terutama dalam konteks politik Indonesia yang sering kali masih dipengaruhi oleh praktik-praktik koruptif dan oligarki. 

Namun, dengan komitmen bersama untuk memperbaiki sistem dan memperkuat institusi demokrasi, bisa berharap bahwa Pilkada di masa depan akan semakin mencerminkan aspirasi rakyat dan menghasilkan pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi daerahnya.

Pilkada yang demokratis bukan hanya tentang prosedur memilih pemimpin, tetapi juga tentang bagaimana proses tersebut dapat memperkuat partisipasi politik rakyat, membangun kepercayaan pada institusi demokrasi, dan pada akhirnya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Oleh karena itu, menjaga integritas Pilkada adalah tanggung jawab bersama, sebagai bagian dari upaya besar untuk mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia

Reformasi politik yang menyeluruh menjadi kebutuhan mendesak untuk memutus rantai korupsi dalam Pilkada. Diperlukan upaya kolektif untuk mendorong Pilkada yang bersih dan adil, di mana integritas, visi, dan kemampuan kandidat menjadi dasar utama pemilihan, bukan sekadar seberapa besar modal yang mereka miliki. Dengan begitu, Pilkada bisa menjadi momentum untuk perubahan nyata, bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan.




*Muhammad Basir, pemerhati politik tinggal di Jembrana, Bali.


Rabu, 02 Mei 2012

Pojok Iseng



Pojok Iseng
Belum Lama iNi
Terkadang orang mengira kita gila, terkadang orang mengira apa saja seenak mulut mereka. Tapi tetaplah berjalan sesuai dengan kata hatimu. Bukankah dunia ini tidak dibatasi oleh mulut-mulut mereka yang asal bicara ? hahahahaha...
Selam sejahtera buat sahabat-sahabat BLOG. Saya kembali lagi di dunia kecil ini untuk mencari batas yang sesungguhnya. Karena kata Darsi “Dunia kecil ini tak terbatas” tapi saya tak percaya.
Eh, siapa Darsi? Mau tau saja.

Kamis, 26 April 2012

Menyoal Kekerasan dalam Rumah Tangga



Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah fenomena baru dalam keluarga, sejak awal penciptaan manusia hal semacam ini sudah terjadi. Tetapi KDRT bukanlah sebuah takdir atau kodrat, hukum alam atau fenomena alamiah yang dianggap memang seharusnya dan biasa terjadi dalam rumah tangga dan harus diterima dengan lapangdada. Terlalu naïf jika masih ada yang berfikir seperti itu. KDRT disebabkan oleh ulah manusia sendiri oleh egoisme personal, konflik antarperonal dalam keluarga, dan tatanan nilai-nilai adat atau kebiasaan.
Dalam temuan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak (PPTP2A), Kota Denpasar cukup mengejutkan, selama periode 2011 ditemukan sebanyak 239 kasus (Bali Express, 24/4). Temuan P2A, Kota Denpasar ini, berbanding terbalik dengan  wacana selama yang menyebutkan masalah ekonomi adalah faktor utama terjadinya KDRT dan meningkatkanya perceraian atau broken home. Karena pada kenyataannya ekonomi adalah salah satu faktor terpenting dalam keluarga, jika kebutuhan hidup sehari-hari sudah terpenuhi sangat jarang sekali dalam keluarga terjadi konflik yang disebabkan oleh kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan.

Sabtu, 14 April 2012

Mencegah Konflik Sosial

Munculnya berbagai tindak kerusuhan dan tindakan anarkis akhir-akhir ini justru telah  disemangati oleh api reformasi yang diterjemahkan secara ”membabi buta” yang terwujud sebagai euforia demokrasi  Jika dirinci beberapa faktor  penyebab timbulnya konflik antaretnik dan antaragama di Indonesia itu antara lain: ketegasan identitas kelompok, derajat kohesi dan mobilisasi kelompok, kontrol  represif oleh kelompok-kelompok dominan.
Di berbagai daerah timbul konflik, bahkan kerap konflik tersebut bermuara pada persinggungan agama. Persoalan ini semakin krusial karena terdapat serangkaian kondisi sosial yang menyuburkan konflik, sehingga kebersamaan dalam membangun negeri ini menghadapi tantangan. Selain itu, kebanggaan terhadap kerukunan yang dirasakan selama bertahun-tahun mengalami degradasi, bahkan menimbulkan kecemasan terjadinya disintegrasi.